Mas Dewa membuka pagar dengan sangat pelan hingga nyaris tak bersuara. Suamiku itu memberi kode padaku agar melepas sepatuku. Sepertinya aku mulai paham apa yang akan Mas Dewa lakukan. Aku menurutinya untuk melepas high heelsku. Dengan berjingkat kami melangkah di teras hingga sampai ke pintu. Suasana rumah tampak sangat sepi. Perlahan Mas Dewa memutar kenop pintu. Sepi. Kemana Liana? Apa dia sedang tidur? Perlahan kami melangkah memasuki ruang tamu, sepi. Mas Dewa mengintip dari balik pintu kamar Liana, namun kosong. Sempat kulirik kamar Liana yang berantakan. Pakaian bekas pakai bertebaran di mana-mana. Aroma tak sedap tercium dari dalam kamar itu. Meja makan dan ruang tamu saat ini masih berantakan. Piring dan gelas bekas Liana sarapan tadi pagi masih belum berpindah. Sementara televisi menyala begitu saja. Majalah dan buku-buku novel bertebaran di depan televisi. Bantal dan selimut berceceran di lantai. Berkali-kali Mas Dewa menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak kesal
"Perempuan laknat! Kamu mau membunuh ibuku, hah?" Suara Mas Dewa menggema seakan merobohkan dinding kamar. Mas Dewa melangkah mendekati Liana yang sudah gemetar. Laki-laki berbadan tegap yang sudah dikuasai amarah itu merampas kasar minuman teh yang berada di tangan Liana, hingga teh itu sebagian tumpah berceceran ke lantai. "Aku minta, kamu yang minum teh ini. Cepat!" Dengan napas memburu dan dada naik turun, Mas Dewa kembali membentak Liana yang sudah mulai mengeluarkan air mata. Liana menggelengkan cepat kepalanya "Tidak mau, Mas!" sahutnya bergetar. Wajahnya semakin memucat bagai kapas. "Kenapa ?" Mas Dewa mendelikkan matanya. Liana terdiam. Seakan ragu hendak menjawab. Tubuhnya gemetar. Keringat mengalir di sekitar dahinya. "Jawaabb!" teriak Mas Dewa membuat Liana kembali terlonjak. "Aku ... Aku ..." "Jawab, Liana!" Mas Dewa mulai kehilangan kesabarannya. "A-aaku sedang hamil anakmu, Mas. Aku takut anak kita kenapa-kenapa," jawabnya. "Loh, memangnya kenapa? Bukankah i
Ya, kali ini Liana menang satu angka diatasku. Dia hamil. Sedangkan aku, sudah dua tahun ini belum ada tanda-tanda apapun. Sepertinya aku sudah tidak dibutuhkan lagi disini. Lebih baik aku pergi dari sini. Tanpa kusadari bulir-bulir bening telah membasahi kedua pipiku. Sebaiknya aku kembali ke kantor sebelum ibu menyadari kehadiranku di sini. Perlahan aku membalikkan badan hendak melangkah meninggalkan kamar. Namun aku dikejutkan oleh suara dering ponselku. Sontak langkahku terhenti. "Zahra ...!" Terdengar suara ibu menyebut namaku. Buru-buru kuhapus air mata ini dengan kedua punggung tanganku. Tidak ada yang boleh melihatku menangis. Ya, aku tak ingin terlihat rapuh di depan siapapun. Lalu perlahan membalikkan badan ini. Semua mata kini tertuju padaku. "Zahra, kamu pulang?" ibu mengulang pertanyaannya. "Iy-iyaa, Bu. Ada yang tertinggal. Zahra kembali ke kantor dulu, Bu." jawabku dengan tetap berdiri di ambang pintu karena ponselku yang terus berbunyi. Tanpa menunggu jawaban da
Aku mengirim pesan pada Mas Dewa. Bagaimanapun juga aku ini masih istrinya. Setidaknya aku mengabarinya bahwa aku pergi dengan Devan. [Ngapain Devan ajak kamu ke apartemennya?] [ Clarissa mau ketemu aku ] Itu pesan terakhir Mas Dewa yang aku balas. Setelah itu ponsel aku masukkan ke dalam tas. Aku tak membuka lagi pesan berikutnya dari Mas Dewa. Karena jika aku balas pasti terus panjang dan tak akan berhenti. Rasanya sudah lelah jika harus berdebat lagi dengan suamiku itu. "Dev ..., ada apa dengan Clarissa? Kenapa dia ingin bertemu denganku?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya, demi membunuh rasa penasaranku. "Entahlah, sejak bertemu denganmu waktu itu, Clarissa berkali-kali memintaku untuk menemuimu lagi. Tapi karena aku keluar kota, baru hari ini aku bisa memenuhi permintaannya." Aku hanya menganggukkan kepala berkali-kali. Ingin rasannya menanyakan tentang ibu dari Clarissa. Namun entah kenapa lidahku terasa kelu setiap hendak menanyakan hal itu pada Devan. Apa mun
Wanita pirang itu menatap nanar padaku. Wajahya memancarkan rasa tak suka. Dia beranjak dari tempat tidur dan menghampiri kami yang masih berdirii di ambang pintu. "Ooh, jadi ini yang membuat putriku tak menginginkan kehadiranku?" Wanita itu menaikkan alisnya seraya menatap tajam padaku. "Jaga bicaramu, Kim! Ini Zahra. Salah satu manager di perusahaanku." "owwwh, cuma manager. Ternyata hanya seorang karyawan biasa," sahutnya dengan seringai dan tatapan meremehkan. "Kimi ...!" Devan kembali membentak wanita itu demi membelaku. Ya Tuhan, kenapa aku merasa seperti seorang pelakor di sini? Aku terus berusaha menarik jemariku yang saat ini masih berada dalam genggaman tangan kokoh milik Devan. Namun Devan menahannya dan malah semakin mempererat genggamannya. "Dev ..., sebaiknya aku keluar," bisikku. "Jangan. Kamu tetap bersamaku disini!" sahutnya pelan namun sangat tegas. "Tante Zahraaaa ...!" Clarissa histeris seraya tersenyum lebar melihat kedatanganku.. "Clarissa ...!" Aku mem
"Clarissa ... maaf, Sayang. Tante nggak bisa jadi bunda kamu. Mommy pasti bisa melakukan semua yang Clarissa inginkan. Clarissa tinggal ngomong aja sama Mommy, hmm ...," ujarku seraya melirik pada Kim yang masih memperhatikan kami dari ambang pintu. Aku memberikan penjelasan dengan lembut dan sangat hati-hati pada Clarisa. Iris mata coklat gadis itu menatapku sedih hingga tampak butiran-butiran embun di sana. Sungguh aku tidak sampai hati melihatnya seperti ini. Namun aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan gadis bermata bulat itu. Aku sangat paham dengan posisiku saat ini. Aku tidak mau menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Devan dan Kim pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Terlebih Clarissa masih kecil. Pasti sangat mudah bagi mereka untuk membujuknya. Kuraih beberapa lembar tissue yang berada pada meja kecil di samping tempat tidur, kemudian dengan lembut kuhapus air mata yang mulai menetes pada wajah Clarissa. "Clarisa .., Tante Zahra harus kembali ke kantor bersama Daddy
Setelah membalas pesan Devan dengan mengatakan bahwa aku akan ke kantor lebih dulu, bergegas aku memasuki lift yang sudah terbuka. Namun mataku membulat saat membalikkan badan. Devan telah berada di hadapanku dengan salah satu jarinya menekan tombol untuk menutup pintu lift kembali. Devan menatapku lekat. "Kenapa ninggalin aku?" lirihnya. Tatapan matanya begitu tajam dan lekat hingga menghunus manik mataku. "Aku .... untuk menjaga perasaan Kim tentunya," jawabku jujur. Devan bersandar pada dinding lift dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celananya. Tatapannya masih tertuju padaku. "Kamu cemburu?" senyum tipis terbit pada sudut bibirnya yang tipis. "Apaa? ah.. eh ... nggak, nggak kok!" Aku menggeleng cepat. Namun sialnya justru terlihat gugup. Devan kembali mengulum senyum menggodaku. Devan perlahan mendekat. "Mau apa kamu, Dev?" tanyaku seraya melangkah mundur hingga punggungku telah menempel pada dinding lift. Mataku melirik angka pada sisi kiri pintu lift dan b
POV Dewa. Aku tak menyangkan kelakuan Liana seperti ini. Bagai disambar petir di siang bolong, saat mendengar bahwa istri keduaku itu memasukkan sejenis obat penenang ke dalam minuman teh Ibuku. Bagaimana mungkin hal ini bisa aku maafkan. Kesalahan Liana sudah sangat fatal. Ditambah dia memperlakukan ibu dengan kasar. Ini sungguj membuatku kecewa. Ternyata Liana mempunyai sifat asli yang sangat buruk. Andai saja aku tahu kelakuannya seperti ini sejak dulu, aku tidak akan mendekatinya. Aku memang bodoh, mudah sekali tergoda oleh kecantikan dan tubuh seksinya. Padahal jika dilihat-lihat, Zahra jauh lebih cantik. Hanya Zahra tidak pandai merayu atau memancing hasratku. Tapi kenapa sekarang dadaku selalu berdegub kencang setiap bertemu istri pertamaku itu. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya terhadap Zahra. Andai saja ibu tak mencegahku, sudah kuusir Liana dari rumah ini. Sayangnya dia sedang hamil anakku. Tidak mungkin aku mengusir apalagi menceraikannya. Ternyata ibu s