Share

12. Penampilan Nyonya Rumah

"Sudah sampai." 

Rhea membuka pintu mobil dan turun secepat yang ia bisa. Gara-gara masih memikirkan kejadian memalukan itu, dia bahkan tidak menyadari bahwa mobil telah memasuki area rumah Hansa sebelum akhirnya mobil mereka berhenti tepat didepan rumah berwarna biru dengan empat pilar putih yang menjulang. 

Dalam sekali lihat, kediaman rumah Hansa lebih besar dari rumah keluarganya. Tetapi bangunan itu sendiri tampak kuno dan membosankan seperti pemiliknya. Khas bangunan rumah mewah biasa tanpa ada sisi unik seperti yang dimiliki rumahnya.

Rhea melirik Hansa. Suaminya itu tengah berdialog dengan wanita paruh baya yang Rhea tebak dia adalah kepala pelayan rumah. Sembari menunggu obrolan mereka selesai, Rhea mencoba melihat-lihat teras depan. 

"Rhea sayang," Hansa memanggil dalam nada lembut.

Kepala pelayan dan beberapa pelayan lainnya dibelakangnya yang mendengar panggilan itu terkejut bukan main mendengar bosnya berbicara lembut. Itu tidak berarti Hansa adalah majikan yang kasar, hanya saja Hansa adalah tuan yang dingin dan irit bicara, sekali bicara dia selalu memakai nada datar seperti biasa. Ini kejadian langka.

Jeremy menahan tawa saat melihat mereka saling membulatkan mata dan melirik satu sama lain untuk sekedar tahu kuping mereka tidak memiliki masalah pendengaran mendadak.

Alis Rhea berkedut ketika mendengar panggilan menggelikan yang disematkan setelah namanya. Rhea berjalan mendekat.

Hansa merangkul pinggangnya dengan mesra. Rhea akan meninjunya jika mereka berdua sedang sendirian. Sayangnya saat ini ada banyak pasang mata yang melihat mereka dan Rhea tahu betul Hansa memanfaatkan situasi ini.

"Ini adalah Bi Darsa yang aku ceritakan tadi. Dia adalah kepala asisten rumah." Beritahu Hansa.

Rhea tersenyum dan menawarkan jabat tangan sebagai salam. Bi Darsa berumur sekitar 50 tahunan, memiliki tahi lalat di bawah sudut kiri bibirnya, berwajah teduh dan memiliki senyum lebar. Dia mendapatkan persepsi pertama yang baik di matanya. Itu adalah penilaian singkat Rhea. Menjadi artis, dia mengasah kemampuan analisisnya. Hey, dunia hiburan itu keras. Agar bertahan didalamnya, dia harus pintar menerka-nerka setiap orang yang berurusan dengannya mengenai apa orang itu benar-benar tulus padanya atau memiliki motif udang dibalik batu.

"Sayang, kau bisa melihat-lihat rumah terlebih dahulu. Kabari aku atau yang lainnya jika ingin sesuatu." 

Masih dengan ekpresi bosan Rhea menyetujui saran Hansa dan mulai berjalan menuju samping rumah kanan mereka dimana terdapat tanah lapang yang hanya ditumbuhi rerumputan. Dalam sekali lihat, Rhea telah memutuskan itu akan menjadi dimana lokasi taman bunganya dibangun.  Lima langkah dibelakangnya, ada dua pelayan yang ditugaskan untuk menemaninya. Mereka masih muda, sekitar 24 tahunan. Nama mereka Sinta dan Rani jika Rhea tidak salah ingat.

Itu sangat disayangkan bahwa Hansa tampaknya tidak memiliki keinginan untuk memperindah rumahnya. Tidak ada bunga diarea rumah. Sejujurnya, bunga satu-satunya yang dilihatnya di sini adalah bunga bakung yang tumbuh di gerbang depan. Selebihnya, itu ditanami pohon-pohon akasia yang tampaknya diatur presisi dan direncanakan. Rhea tahu dia sibuk, tetapi membuat rumah nyaman memiliki dampat positif yang besar. Tampaknya dia punya pekerjaan besar untuk membuat tempat ini menjadi rumahnya selama dua tahun.

Dilain tempat, Hansa menepuk-nepuk pundak Jeremy yang mendadak panas dingin. Siap menerima semprotan karena menginjak rem tiba-tiba yang bisa membahayakan keselamatan mereka. Itu tidak sengaja tentu saja. Lagipula bukan salahnya jika terlalu terkejut karena baru melihat sisi bosya yang lain yang bersifat kontradiksi dari sikapnya selama ini.

"Jeremy, kerja bagus." Beritahu Hansa. "Bonus bulan ini akan bertambah dua kali lipat." 

Jeremy ternganga.

Hansa terkekeh melihat ekspresi asistennya itu dan menepuk bahunya sekali lagi sebelum pergi untuk menyusul istri kesayangannya.

***

"Ini bagian dapurnya." Hansa menerangkan.

Hansa telah mengusir dua pelayan itu agar dia bisa berduaan dengan Rhea. Ia dengan semangat memperkenalkan bagian-bagian dalam rumah di lantai pertama.

Dapurnya berukuran lebar dan bersih, langsung menyatu dengan ruang makan dimana meja makan berbahan kayu jati berdiri dengan kokoh namun tetap memancarkan estetika ruangan. Dinding yang memisahkan bagian dalam dan luar telah diganti seluruhnya dengan kaca tembus pandang sehingga Rhea bisa melihat kumpulan pohon akasia yang berdahan rindang jika duduk di bagian sisi kanan meja.

"Ini adalah Bi Asih." 

Rhea menatap wanita yang baru datang dari ruangan lain yang segera menyambut mereka. 

"Dia juru masak kita. Dia wanita yang tangguh, dulunya  bekerja sebagai koki kapal pesiar sebelum pensiun dan disinilah aku membawanya." Jelas Hansa.

"Kamu mau makan apa nanti malam?"

"Terserah. Asal jangan mengandung kacang. Aku memiliki alergi parah dengan itu." 

Rhea memastikan Bi Asih tahu makanan yang menjadi alerginya. Dia melihat orang lain berjalan mendekati mereka.

"Ini anakku. Mia." Bi Asih memperkenalkan.

Rhea taksir umurnya lebih muda darinya. Dia manis dan cantik dengan rambut ikal panjangnya. Mia tidak memakai seragam hitam khas pelayan di rumah ini yang berarti dia bukan.

 

"Dia terkadang datang untuk menemaniku bekerja dan membantu pekerjaan lainnya disini." Bi Asih melanjutkan.

Mia memandangnya singkat sebelum beralih ke Hansa dan tersenyum manis. "Kamu pasti lelah, mau aku buatkan teh hijau seperti biasa?" Tawarnya.

Rhea menahan diri untuk tidak mendengus. Mia menyukai Hansa, itu sudah jelas. Tetapi dia tidak tahu dia terlalu bodoh atau apa untuk sengaja memperlihatkan itu didepan wajahnya.

"Lain kali saja. Aku harus mengajak istriku berkeliling."

Hansa mengajaknya ke lantai dua. Lantai dua lebih terasa rumah yang sebenarnya dibanding lantai pertama. Ada banyak foto-foto yang dipanjang di dinding beralas beludru merah. Hansa menuntunnya melewati ruangan-ruangan lain sebelum berhenti di depan pintu paling sudut.

Hansa membuka pintu lebar-lebar, dan menunjukkannya ke Rhea. "Kamar kita." Ucapnya.

Alih-alih mengagumi kamar berdinding abu-abu muda dengan tingkat kerapian sempurna. Rhea bersedekap dada dan menatap suaminya.

"Kenapa aku harus sekamar denganmu? Rumah ini pasti punya banyak kamar kosong yang bisa aku gunakan."

 "Kenapa ya?" Hansa berpura-pura bingung. Dia menyibakkan tirai sehingga cahaya dari luar bisa masuk. Lalu berbalik memandang Rhea dengan senyuman gelinya.

"Sudahlah." 

Rhea menyadari bahwa kopernya bahkan telah terdampar di depan pintu kamar lain yang ia yakini sebagai ruang klosetnya.

Dia tengah melihat-lihat judul-judul buku di rak Hansa yang rata-rata berisi tentang bisnis dan bacaan berat lainnya sebelum dia kejutkan dengan tangan Hansa di kedua bahunya, memeluknya dari belakang. Dia tersentak kecil.

"Pasangan sungguhan tidur di satu kamar." Hansa berbisik tepat di daun belakang telinganya. Nada menggoda terselip dalam kalimatnya.

Untuk sesaat Rhea merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Untungnya sebelum mati membeku dengan pipi sewarna tomat, Hansa langsung menuntunnya ke arah jendela berada.

"Lihat yang disana." Tunjuknya.

Dari jendela, Rhea bisa melihat bentangan rumput yang ia ingin jadikan lokasi kebunnya. Oh? Dia tahu maksud Hansa.

"Itu akan menjadi taman." Hansa memberitahu. "Bayangkan kita bangun tidur menyambut pesona cahaya pagi sambil memandangi bunga matahari dari jendela? Bagus kan?" 

"Ya." Rhea berbisik mengakui. Terpana membayangkan perkataan Hansa.

Sepertinya menjadi istri Hansa tidak seburuk yang ia pikirkan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status