ALVA merasa sedikit terkejut saat melihat Ralf tiba-tiba saja datang menghampirinya. Mereka memang cukup berteman baik selama ini. Alva, Alan, dan Ralf. Mereka bertiga bisa dibilang sebagai teman sejati.
Alan dan Alva yang masih bersaudara, tapi sering bertengkar karena masalah sepele dan Ralf yang akan berada di tengah-tengah untuk melerai pertengkaran di antara mereka. Sosok Ralf cukup berjasa, karena hadirnya pria itu juga membuat tali erat hubungannya dengan Alan tidak putus di tengah jalan.
"Risa gimana keadaannya?" tanya Ralf begitu Alva keluar dari mobil dan berdiri di hadapannya.
Alva berdecak. "Begini sambutan lo pagi-pagi waktu ngelihat sahabat lo sendiri?"
Ralf mendengkus. "Nggak usah lebay. Lo sehat wal afiat gini, apa masih perlu gue tanyain soal gimana kesehatan lo, ha?"
Alva mengembuskan napasnya panjang. "Risa baik-baik aja, harusnya dia bisa masuk sekarang
LANGIT di luar sana mulai menggelap. Beberapa orang telah memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Bahkan Ralf tadi sudah menawarinya sebuah tumpangan untuk pulang. Namun, Risa tidak berniat untuk kembali sebelum pekerjaannya selesai.Alva masih menunggu perempuan itu bergerak dari posisinya. Namun, Risa masih terus melanjutkan pekerjaannya, walaupun dia sadar dirinya sedang diperhatikan dan hari sudah tak lagi terang.Alva mendesah kasar. Dia bangkit dari kursinya setelah menenteng tas kerja, dan mendekati Risa. "Belum mau pulang juga?" tanyanya sembari menarik kursi lain dan duduk di atasnya.Ditatapnya Risa yang kini berhenti sejenak untuk menatap matanya. "Kenapa? Lo mau nganterin gue pulang?"Alva mendekatkan wajahnya. "Tentu. Dari tadi juga gue emang sengaja nungguin lo selesai sama kerjaan lo itu."Risa membuang muka dan kembali menekuri pekerjaannya. "Pulang aja dulu kalau gitu, gue masih lama.""Mau sampai jam berapa lo di s
"LO mau makan apa?"Pertanyaan itu tak ia tanggapi. Risa lebih memilih diam dan memandangi langit malam yang begitu gelap. Perutnya terasa mual setiap kali mengingat apa yang telah ia lakukan beberapa saat lalu.Walaupun Alva mengajaknya bicara dan sempat mengalihkan perhatiannya untuk sejenak, tapi bayang-bayang kala ia mengulum milik pria itu dan menelan cairannya membuat Risa tak kuasa menahan gejolak yang berasal dari dalam perutnya.Risa memegangi mulut dengan siku bertumpu pada kaca mobil yang terbuka. Tubuhnya bersender ke pintu, siap membuka paksa pintu itu seumpama dia ingin mengeluarkan semua cairan asam itu dari perutnya.Alva terdiam di sampingnya. Matanya sesekali melirik, mencoba menerka apa yang dialami Risa karena tak kunjung menjawab pertanyaannya. Namun, pada akhirnya dia tak mendapatkan jawaban apa pun.Alva mendesah panjang. Tangannya terulur, menyentuh
HAL pertama yang Risa lakukan adalah mengecek kamar mandi dan memastikan kalau di dalamnya benar-benar ada mesin cuci yang bisa dipakai. Setelahnya, dia pergi mengecek lemari untuk mencari pakaian yang bisa dia pakai malam ini.Namun, tiba-tiba saja ia berhenti. Tubuhnya membatu, tatapannya terpaku pada dua pasang lingerie yang digantung di dalam lemari berjejer rapi dengan jas dan beberapa kemeja yang telah disetrika rapi."Playboy itu pasti udah gila!" geramnya dan langsung membanting pintu lemari dengan kuat, tapi tak lama, karena kemudian dia kembali membuka lemari dua pintu di depannya.Dua pasang lingerie berbahan satin yang begitu halus begitu menyentuh tangannya. Dalaman yang akan sangat nyaman digunakan. Apakah lingerie itu memang sengaja dibeli untuknya? Ataukan teman kencan Alva yang sengaja meninggalkan pakaian dalamnya untuk bisa dia gunakan keesokan harinya?Risa menggeleng p
RISA menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan saat melihat apa yang Alva buat untuknya sejak tadi. Pria itu memang salah, karena tak mengatakan apa pun dan bertanya sesuatu padanya tentang apa yang mau ia makan. Namun, dirinya juga salah, karena diam saja dan tak berkata apa-apa tentang apa yang ingin dia makan malam ini.Risa mematikan kompor, menghidangkan masakan Alva yang aromanya begitu menggugah selera, kemudian dia duduk di atas pantri. Hanya ada nasi putih, tanpa lauk, memang bukan sesuatu yang buruk. Namun, setidaknya jika ada mie instan dia tidak akan merasakan rasa hambar dari nasi ketika berada di dalam mulut.Ria menunduk, mengembuskan napasnya sekali, lalu makan dalam diam. Hanya nasi putih yang akan menemaninya malam ini. Tidak buruk, karena ini bukan kali pertama Risa makan tanpa lauk.Hidup miskin bertahun-tahun tanpa bantuan siapa pun. Tentu saja, siapa yang mau membantunya? B
RALF langsung membereskan semua pekerjaannya dan mendekati Risa yang masih terlihat memandangi layar komputer kala waktu sudah memasuki jam istirahat. Alva bahkan sampai terlonjak di tempat duduknya dan lantas melotot ke arah Ralf yang kini tengah mengusir teman kantornya yang tempat duduknya berada di samping Risa untuk mengambil alih kursi yang ditempati teman kantornya itu.Ralf memosisikan kursi agar dia bisa duduk di sebelah Risa. Sedangkan Risa mengerjapkan matanya berulang kali, memandangi senior di kampusnya dulu dengan wajah tidak mengerti.Dia heran, tentu saja, melihat Ralf yang begitu tergesa-gesa mendekatinya begini seperti mengatakan adanya sesuatu yang tak beres dan tengah disimpan pria itu dalam ekspresi diamnya. Sesuatu yang mungkin berkaitan dengan masalah pribadi Risa.Risa memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas panjang. "Ada apa? Lo kelihatannya kayak mau ngomong sesuatu sama gue s
WALAU sebenarnya dia terusik dan ingin sekali melirik, tapi Risa tidak mau melepaskan tatapan matanya dari Ralf yang kini bahkan sudah menoleh ke arah Alva dan dua orang wanita di seberang sana.Ucapan Alva dan dua orang wanita tak dikenalnya itu cukup bisa terdengar dengan jelas di telinga. Alasan sama yang kini mengundang semua pasang mata untuk memperhatikan mereka. Termasuk, seniornya yang sepertinya lebih tertarik memandangi apa yang terjadi dengan teman seperjuangannya, daripada memperjelas arti tatapan matanya sebelumnya.Risa mengatupkan mulutnya. Dia menoleh ke arah Alva yang kini diseret pergi dari sana oleh seorang wanita. Sosok yang Risa ketahui sebagai mantan kekasih terakhir Alva."Gue kaget," kata pertama yang keluar dari mulut Ralf setelah hening sekian lama membuat Risa kembali memandanginya, "selama ini gue pikir dia udah nggak deket sama cewek apalagi mainin cewek lagi. Gue kira dia udah
"LO berdua nggak mau makan siang apa gimana sampai ngobrol mulu dari tadi nggak kelar-kelar?" sindiran tajam itu membuat Ralf dan Risa sontak saja menoleh.Alva sedang berdiri dengan tangan bersedekap. Tatapannya terlihat layaknya sedang berkilat-kilat dengan sorot mata tajam, menghunjam tepat ke arah Risa yang hanya bisa terdiam dengan wajah menunduk dalam-dalam.Ralf melirik arloji di tangan kirinya dengan ekspresi terkejut. "Gila, gue kira masih lama!" Ralf berdiri dan berjalan ke arah Alva. "Thanks, gue mau makan siang dulu."Alva hanya melirik dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, dia hanya diam dan mulai melangkah mendekati Risa. "Lo nggak mau makan siang?""Waktunya udah nggak keburu, kan?" tanya Risa kemudian. Dia hendak menyalakan kembali komputernya saat Alva memegangi tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat."Makan, Sa! Kalau lo nggak mau makan, minimal
ALVA langsung membuang muka begitu melihat Olivia tersenyum ramah sambil melambaikan tangan ke arahnya. Sedangkan Jeanne yang berada di samping Olivia langsung turut membuang pandang, enggan menatap Alva yang kini lebih memilih menatap wajah menyebalkan Ralf yang berada di sampingnya."Gue jadi penasaran, lo sama mereka tadi siang ngomongin soal apa?" tanya Ralf yang kini geleng-geleng kepala melihat sifat kekanakan di antara Alva dan Jeanne.Dulu, saat pertama kali Alva dan Jeanne saling mengenal. Keduanya memang lebih sering bertengkar, daripada menunjukkan adanya benih-benih cinta. Ajaibnya, kedua orang itu nyatanya tetap bisa jadian dan hubungan itu bertahan sampai sebulan.Kurun waktu yang menurut Ralf lumayan lama, karena selama ini, Alva hanya mengencani seorang gadis selama dua hari atau seminggu saja.Alva mengerling. "Apa gue kelihatan kayak orang yang mau ngasih tahu lo? Jangan