Bel istirahat berbunyi. Membuatku bernafas lega. Menyebalkan sekali pagi-pagi seperti ini sudah dijejali pelajaran matematika. Membuat otakku bekerja tujuh kali lebih ekstra dibanding biasanya.
Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Kupejamkan mata sejenak. Menghadapkan wajahku ke langit-langit ruangan. Otakku sepertinya butuh istirahat. Ia sudah terlalu lelah dengan rumus dan angka-angka yang menjejal di kepala.
“Qi, pinjem jaket kamu, dong.” Tiba-tiba kudengar suara Bia berbicara kepadaku. Entah kapan datangnya, saat aku membuka mata, gadis berambut pendek itu sudah ada di depan meja. “Aku nanti pelajaran Bahasa Indonesia ada penilaian drama, mau pake jaket kamu buat properti. Boleh, ya?”
Aku menatap ke arahnya. “Hmm iya, deh.” Segera kuambil jaket yang memang hanya kuletakkan di atas kursi. “Nih,” ucapku seraya menyerahkan jaket warna navy-ku kepadanya.
“Makasih, Uqi. Nanti pulang sekolah biar bawa pulang aku aja, ya. Sekalian kucuci,” balas Bia sambil tersenyum ke arahku.
Aku hanya mengangguk dan membalas senyumannya. Lumayan juga Bia meminjam jaketku. Aku bisa menghemat tenaga karena berkurang satu pakaian yang kucuci.
“Eh, ada coklat? Tumben kamu makan coklat,” ucap Bia seraya mengangkat coklat pemberian Elsa yang memang masih kubiarkan di atas meja. Gadis berbulu mata lentik itu tampak heran sambil melihat-lihat bungkus coklat yang kini berada di genggaman tangannya.
“Oh itu, Elsa yang ngasih,” jawabku singkat.
“E-elsa? Temen kamu yang kemarin juara nyanyi itu?” Kulihat Bia sedikit membulatkan mata. Bia memang pernah kuceritaka tentang Elsa, teman sekelasku yang memiliki suara amat merdu. Satu bulan lalu, Elsa baru meraih juara di kompetisi menyanyi tingkat provinsi.
“Iya.”
“Kok bisa?” Bia tampak mengerutkan kening.
“Loh, lo nggak tau, Bi. Elsa kan emang udah lama naksir Uqi. Uqi-nya aja yang nggak peka,” celutuk Deni dari arah belakang. Kini pemuda berambut jambul itu mulai berdiri dan berjalan mendekati mejaku.
“Sok tau, lo!” sanggahku.
“Lah emang iya, kok. Kalau bukan naksir apa coba namanya? Orang hampir tiap hari kasih hadiah.” Ucapan Deni memang benar. Elsa sering memberiku makanan, bekal dari rumah, atau oleh-oleh dari ayahnya yang bekerja di luar kota. Tidak setiap hari juga, tetapi masih bisa dibilang sering.
“Em. Ya udah, Qi. Aku pergi dulu ya. Ini jaketnya kubawa.” Tiba-tiba Bia meletakkan kembali coklat yang tadi ia genggam ke atas meja dan bergegas meninggalkan kelasku.
“Qi, lo liat tadi ekspresi mukanya Bia?” ucap Deni yang kini sudah berpindah tempat duduk ke kursi di depanku.
“Liat, memangnya kenapa?” tanyaku, tak paham dengan pertanyaan Deni. Memangnya kenapa dengan muka Bia. Tak ada yang aneh. Mukanya masih sama seperti tadi pagi. Tak ada jerawat atau kutil yang tiba-tiba menghiasi wajah putihnya.
“Hish! Bia kayaknya cemburu deh pas dia tahu lo dapet coklat dari Elsa,” ucap Deni begitu antusias. Ia mengangkat kedua alisnya saat mengatakan kalimat itu kepadaku.
“Cemburu? Nggak mungkin lah. Sok tahu banget, lo!” balasku. Apa maksudnya Bia cemburu? Mana mungkin, kami saja tak punya hubungan apa-apa. Hanya sebatas sahabat.
“Dasar lo ya, Qi. Emang jadi cowok nggak peka banget. Ada cewek yang naksir, lo nggak tau. Lah ini sahabat lo sendiri lagi cemburu, lo juga nggak tau.” Deni berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mana mungkin Bia cemburu. Orang kita cuma sahabatan. Gue juga nggak ada rasa apa pun sama dia. Ngaco lo, Den!” ucapku.
“Dih dibilangin nggak percaya. Kan itu lo. Lah Bia? Emangnya lo tahu perasaan Bia yang sebenarnya sama lo?” Deni kini tampak serius. Ia menatapku tajam. Tak biasa-biasanya ia seperti itu. Kini aku pun mulai memikirkan setiap ucapannya. Apa benar Bia suka kepadaku?
“Udah ah, kita ke kantin aja yuk. Gue laper,” ajakku, berusaha mengalihkan pembicaraan tadi.
***
“Bu, baksonya dua, ya,” ucapku kepada Bu Siti, salah satu ibu-ibu penjual di kantin. Kini aku dan Deni memang sudah berada di kantin sekolah. Perutku sudah tak mau diajak kompromi meskipun tadi pagi sudah sarapan. Dasar memang perut tak ada akhlak.
“Siap, Mas Uqi. Tunggu di meja, ya,” jawab Bu Siti. Wanita berusia paruh baya itu segera meracik menu favorit yang biasa kupesan di warungnya. Aku memang selalu datang ke warung Bu Siti saat jam istirahat. Makanan-makanan yang ia jual menurutku lebih nikmat dibanding ibu-ibu kantin lainnya, dan yang jelas harganya lebih bersahabat dengan kantongku.
“Oke, Bu.” Aku pun segera duduk di bangku depan Deni. Menanti semangkok bakso yang bahkan aroma kuahnya saja sudah membuat perutku meraung-raung ingin segera diisi. “Eh Den, Ryan mana si. Kayaknya tadi pas bel istirahat langsung ngilang dari kelas.”
“Nggak tau. Bilangnya si tadi mau ke kamar mandi. Tapi nggak balik-balik,” jawab Deni. Ryan memang tadi tiba-tiba menghilang seusai pelajaran matematika. Bahkan saat Bia datang ke kelas, Ryan sudah tak keliatan batang hidungnya.
“Tumben banget. Biasanya kan bel istirahat, dia langsung ngacir ke kantin,” balasku.
“Ini, Mas Uqi, Mas Deni, baksonya.” Yang dinanti-nangi akhirnya datang. Bu Siti datang ke meja kami dengan menyerahkan dua buah mangkok berisi bakso.
“Makasih, Bu Siti,” ucapku. Tanpa banyak cakap, langsung kusantap bakso yang sudah membuat perutku semakin meraung-raung itu. Sungguh perpaduan yang sempurna antara bola-bola daging, sayuran, kuah, saos kecap, dan yang tidak boleh ketinggalan, tiga sendok makan sambal cabai rawit. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan.
“Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma baarik lanaa fima rozak tanaa waqina 'adzaabannar.”
Prang!
Belum sempat aku memasukkan sesuap bakso ke dalam mulut, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara benda yang pecah tepat di sebelahku. Aku menoleh. Tampak di sebelahku tepat, Bia sedang berdiri dengan tatapan kaget. Sepertinya ia tadi yang menjatuhkan gelas berisi es teh itu.
“Maaf, Bi. Nggak sengaja. Aku lagi buru-buru. Dipanggil Pak Kepsek soalnya. Sekali lagi maaf, ya. Aku duluan,” ucap seorang siswa yang sepertinya menabrak Bia tadi. Namun, ia malah meninggalkan Bia seorang diri dengan pecahan gelas kaca di depannya.
Melihat hal itu, aku segera menghampirinya. “Dasar, nggak ada akhlak tuh anak! Udah nabrak malah ditinggal kabur!” umpatku kepada anak yang kutau bernama Edo itu. Aku ikut emosi melihat apa yang baru saja dilakukannya kepada Bia.
“Udah, Qi. Tadi kan Edo bilang nggak sengaja. Lagian dia juga udah minta maaf,” jawab Bia, berusaha menenangkanku. Ia segera berjongkok untuk memunguti pecahan gelas kaca miliknya yang kini berceceran di lantai.
“Sini biar aku bantuin, Bi,” tawarku. Aku pun ikut berjongkok di depan Bia. Kuambil pecahan gelas yang tercecer di atas lantai. Memang benar-benar si Edo, sudah salah malah kabur. Dalam hati aku terus merutuki tingkah Edo itu.
Kami terus memunguti pecahan gelas kaca itu dan mengumpulkannya di dalam kantong plastik yang sempat kuminta ke Bu Siti. Namun, tanpa sengaja tanganku tiba-tiba menyentuh tangan Bia saat kami hendak mengambil pecahan gelas yang sama. Refleks aku pun menatap Bia. Begitu pun dengannya. Alhasil, pandangan kami bertemu.
Eh. Maaf, Bi. Segera kuangkat tanganku yang tadi tak sengaja menyentuh tangannya saat sedang mengambil pecahan kaca.
Kulihat Bia tiba-tiba menunduk sesaat setelah pandangan kami bertemu. Seperti ada sesuatu yang aneh di sorot matanya. Bia seperti berusaha menghindar saat kedua bola mata kami bertemu.
Iya, nggak papa, jawab Bia datar. Ia pun kembali memunguti pecahan gelas kaca yang berserakan di atas lantai. Sesekali kulihat wajah Bia. Ia masih menunduk. Tak mau menatapku.
Aawww! Tiba-tiba Bia sedikit berterik dan meringis kesakitan. Tampak darah segar mulai mengalir dari ujung telunjuknya. Sepertinya, tak sengaja ada pecahan gelas yang menancap di kulit putihnya.
Kenapa, Bi? Kamu berdarah? Kulirik Bia yang sesekali mengibas-ngibaskan jarinya. Entah seberapa besar pecahan gelas yang menggores jarinya tadi hingga darah di jari Bia mengalir cukup banyak.
Sini, Bi. Aku segera menarik jari Bia. Kuhisap darah di jarinya lalu kulepehkan ke samping.
A-a-apa yang kamu lakuin, Qi? tanya Bia dengan pandangan yang sedikit bingung. Ia tampak kaget dengan apa yang kulakukan. Seketika ia langsung menarik tangannya dari genggamanku.
Biar darahnya nggak ngalir terus, Bi, jawabku.
I-iya, makasih. Dengan segera Bia membereskan pecahan kaca yang tersisa lalu beranjak berdiri. Aku duluan, Qi, ucapnya seraya pergi meninggalkanku yang masih berjongkok di tempat semula. Aku hanya menatap kepergian Bia yang mulai menghilang dari balik pintu kantin.
Ehm ... ehm ... so sweet banget si, Bang Uqi. Kulirik Deni sudah menaik-naikkan alisnya menatapku. Ah! Menyebalkan sekali. Hampir setiap hari Deni selalu mengompor-ngomporiku dengan Bia. Ingin sekali kusumpal mulutnya dengan kaos kaki.
Diem, lo! Aku sebenarnya tak habis pikir, memangnya apa yang aneh dengan sikapku kepada Bia? Apa salah, seorang sahabat bersikap baik dan membantu sahabatnya sendiri. Dari dulu juga aku sering membantu Bia saat sedang ada masalah. Bahkan dulu waktu SMP, waktu Bia terluka saat sedang latihan karate, aku penah menggendongnya sampai rumah.
Memangnya ada yang aneh ya sama sikap gue ke Bia? Aku segera berdiri dan kembali duduk di kursi depan Deni.
Emm, aneh si enggak. Cuma gimana ya, Qi. Perhatian lo ke Bia itu, gue liatnya beda, jawab Deni.
Beda gimana? Orang biasa aja kok.
Ya menurut lo biasa. Tapi orang lain yang liat kan enggak.
Lah dari dulu sejak gue TK kan emang udah biasa kayak gini.
Itu kan dulu, Qi. Lo sama Bia masih sama-sama ingusan. Nah sekarang kan udah sama-sama gede. Apalagi lo cowok, Bia cewek. Pasti perhatian lo ke dia, udah dia anggap beda, papar Deni.
Emangnya gitu ya? Aku berusaha mencerna setiap ucapan Deni. Jujur, aku masih tak percaya dengan yang Deni ucapkan. Menurutku, perhatian yang keberikan kepada Bia sepertinya biasa-biasa saja. Aku pun tak punya perasaan apa pun ke dia. Bia hanya kuanggap sebagai seorang sahabat. Perhatian yang kuberikan ke Bia ya selayaknya seorang sahabat.
Kalau sahabatan cowok cewek, pasti salah satunya bakal ada yang jatuh cinta, Qi. Gue jamin deh, ucap Deni.
Bersambung.
Hari demi hari berlalu. Hubunganku dan Bia masih berjalan normal saja, layaknya seorang sahabat. Kami berangkat sekolah bersama, latihan beladiri bersama, mendaki Puncak Prau bersama, dan masih banyak kegiatan yang sering kami lakukan bersama. Mungkin satu-satunya kegiatan yang tak pernah kulakukan bersama Bia adalah bermain balap motor.Berbeda denganku yang suka dunia motor dan otak-atik mesinnya, Bia sama sekali tak suka dengan hal-hal semacam itu, bahkan sampai sebesar ini pun Bia sama sekali belum bisa mengendarai sepeda motor. Alhasil, hampir setiap hari aku menjadi tukang ojeknya untuk antar jemput berangkat sekolah.Namun, hari ini aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tak biasanya ia berangkat sekolah terlebih dahulu meninggalkanku. Padahal biasanya ia selalu setia menungguku menjemputnya di depan rumah, tetapi tidak dengan hari ini. Semuanya berbeda. Apalagi saat bertemu di sekolah. Kedua netraku dibuat terbelalak karena perubahan penampilann
“Maaf, Qi. Tapi mulai sekarang aku nggak bisa berangkat bareng kamu lagi. Kita nggak bisa boncengan seperti biasanya. Kita bukan mahram, Qi. Nggak sepantasnya kita berdekatan seperti itu.”Aku sedikit menelan saliva mendengar semua penjelasan Bia. Inikah alasan perubahan sikapnya kepadaku?Meskipun aku tak terlalu pandai ilmu agama, sedikitnya aku tahu kami berdua memang tidak ada hubungan mahram. Namun, bukankah interaksi kami selama ini juga biasa saja? Kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kami hanya berinteraksi layaknya seorang sahabat.“Sekali lagi aku minta maaf, Qi. Bukannya aku bermaksud menghindari kamu. Hanya saja, aku pengin kita menjaga jarak, tak seperti biasanya. Aku harap kamu mengerti aku, Qi,” ucapnya lagi. Kali ini nada suara Bia terdengar seperti memohon. Aku tahu, Bia amat serius dengan ucapannya itu.Aku coba mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, gadis berkulit putih itu justru refleks memundurkan tubuhnya satu
Sayup-sayup suara kokok ayam membangunkanku dari alam mimpi. Segera aku menuju ke kamar mandi. Cuci muka dan mengambil air wudhu. Sudah menjadi rutinitasku, selalu menunaikan salat malam setiap harinya.Ayah dan bundaku memang selalu mengajari anak-anaknya agar senantiasa menjaga salat malam. Sesibuk apapun, semalas apapun, kami harus tetap melaksanakan salat malam.“Seseorang yang merutinkan salat malam, pasti akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Di saat yang lain terlelap, kita sudah terbangun. Di saat yang lain masih larut di alam mimpi, kita sudah bermunajat, bermesraan dengan Tuhan. Apa tidak hebat namanya? Allah itu sudah menjanjikan ampunan bagi siapa pun yang mendekat kepada-Nya. Siapa pun yang berdoa di sepertiga malam terakhir pasti akan Allah kabulkan. Seluruh penduduk bumi dan langit pun turut serta mengamininya.”Nasihat ayah waktu itu selalu terngiang di kepalaku. Menjadi penyemangat saat aku hendak melaksankan salat malam
Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku selalu memastikan penampilanku harus sesempurna mungkin. Bukan buat pamer. Apalagi cari perhatian. Tujuanku hanya satu. Agar tak ada yang menertawai jika aku berpenampilan aneh saat ke sekolah. Tidak lucu kan jika tiba-tiba di rambutku masih ada bekas sampo, atau dasi yang kupakai tergantung miring, atau bahkan masih ada kotoran di kedua sudut mata. Bisa hilang ketampanan yang ada pada diriku.Setelah semua siap, aku segera berpamitan kepada Ayah dan Bunda, lantas keluar rumah menuju motor kesayanganku. Motor ninja yang Ayah berikan satu tahun lalu, saat aku berhasil menjuarai kompetisi karate tingkat provinsi. Yah, meskipun aku gagal di tingkat nasional.Aku memang sangat suka bermain karate. Sedari kecil aku sudah banyak ikut kompetisi. Namun, sejujurnya aku lebih suka dengan dunia otomotif. Bagiku, sepeda motor dan segala pernak-perniknya sudah menjadi separuh jiwaku. Biarlah orang berpikir aneh, tetapi memang kenyataann
Bia berjalan melewatiku dan Elsa dengan wajah tertunduk. Jangankan menyapa, menatap wajah pun tak ia lakukan. Ia hanya sempat melirik kami saat masih di depan sana. Sejenak aku menghentikan langkah, menatap Bia yang berlalu melewatiku dan Elsa. Rasanya hampa sekali. Tak ada obrolan atau candaan yang biasa mengalir di antara kami.“Qi?” Suara Elsa tiba-tiba menyadarkanku yang sedari tadi tengah menatap kepergian Bia. “Ada apa?” tanyanya. Elsa sepertinya tampak bingung karena melihatku tiba-tiba berhenti. Ia sedikit mengerutkan kening menatapku.“Eh, nggak papa, El,” sahutku buru-buru. Aku segera mengalihkan pandangan dari Bia.“Kirain ada apa,” ucap Elsa.Aku hanya tersenyum, berusaha mengalihkan pikiranku dari Bia yang tadi hanya berlalu melewatiku, lalu kami pun kembali melangkah bersama menyusuri koridor sekolah.“Bukannya tadi itu Bia temen kamu ya, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba
Aku melangkah memasuki rumah dengan tubuh gontai. Rasanya lemas sekali. Energiku seolah-olah terkuras habis. Bukan karena kelelahan. Aku sudah biasa melakukan aktivitas fisik lebih berat dari hari ini.Satu-satunya alasan yang membuatku tak bersemangat adalah Bia. Entah kenapa, kejadian di sekolah tadi selalu terngiang-ngiang di kepala. Aku ingat betul bagaimana Bia menatapku saat sedang berjalan berdua dengan Elsa, pun demikian saat aku memboncengkan Elsa di depan sekolah. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa bersalah kepadanya.Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tak melakukan kesalahan apa pun. Semua hal yang kulakukan sama sekali tak ada hubungannya dengan Bia. Aku tak perlu meminta izin untuk berjalan bersama Elsa, atau mengantarnya pulang. Semua itu bisa kulakukan tanpa persetujan dari Bia. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan ini semua adalah salah.Kurebahkan tubuh di atas sofa. Masih dengan seragam yang sama. Bahkan ransel pun masih menempel di balik pungg
Pagi ini, aku dan Bunda dikejutkan dengan sebuah berita buruk. Beberapa menit lalu, ada seorang petugas BPBD yang menghubungi kami. Mereka memberikan kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas.Ayah memang tadi bergegas pamit dari rumah setelah mendapat panggilan darurat dari kantor. Katanya ada seorang anak kecil yang hanyut terbawa arus yang meluap saat sedang bermain di tepian sungai bersama kakeknya. Ayah sebagai salah satu petugas BPBD yang lokasinya paling dekat, tentu segera ditugaskan ke lokasi kejadian.Alhamdulillah, anak itu dapat diselamatkan oleh Ayah. Namun, nahasnya Ayah malah terbawa arus tersebut sampai terseret beberapa ratus meter. Beruntung petugas yang tadi menguhubungi kami berhasil menyelamatkan Ayah. Dan kini, Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan darurat.Aku dan Bunda tentu begitu kaget dengan kejadian ini. Segera kami berangkat menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Namun, sampai saat ini Ay
Hari masih pagi, tetapi Bunda dan Mba Huma sudah sibuk berkutat dengan berbagai peralatan dapur. Bunyi wajan dan sutil saling bersahutan, menggema bak sebuah orkestra di rumah kami. Aroma gurih nan lezat pun sudah merebak ke seisi rumah.Bunda dan Mba Huma memang sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan tamu dari Pekalongan. Rencananya, hari ini keluarga kyai Mba Huma akan datang ke rumah untuk bertakziah.Aku sebagai anak laki-laki yang tidak bisa memasak, hanya bisa membantu Bunda dengan bersih-bersih rumah sambil sesekali merecoki mereka dengan mengambil makanan yang sudah jadi. Ya, hitung-hitung sebagai tukang cicip, meskipun tak diizinkan Mba Huma.“Dih, Uqi! Gangguin aja, si! Bantu beres-beres di depan aja sana! Dari tadi makan mulu!” Mba Huma sepertinya mulai kesal karena sedari tadi aku selalu mengambil kue-kue dan gorengan yang baru saja dimasaknya. Ia yang berpakaian bak seorang chef yang ada di TV dengan celemek te