“Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam.
“Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin.
“Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan.
“Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya.
“Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya.
Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.”
Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d
“Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya.Deg.Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi?“Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran.“Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan.“Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A
“Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.” “Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi. Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. “Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas masak tadi. ** Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi. Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.  
Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico. “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“ “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah. “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas. Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu. “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya. Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan
Anak kecil berseragam lusuh, dengan peluh dan debu di keningnya. Dia berlari ke rumah kecil di mana sang ibu sedang menyapu teras.“Kenapa kamu nangis, Nak?” tanya sang ibu yang menyimpan dulu sapu di tangannya.“Kenapa aku nggak punya bapak, Bu? Kenapa aku selalu disebut anak haram sama temen-temen?” rengeknya. Ningsih menghela napas dan mengusap puncak kepala anak itu.“Nggak usah hiraukan kata-kata mereka ya, Sayang. Sana ganti baju dulu, terus makan.”Albany kecil tak lagi melanjutkan pertanyaan, karena rasa lapar kini menyerang. Dia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Baju yang sama usangnya dengan seragam yanag tadi ia pakai. Ada sobekan yang dijahit di beberapa bagian. Makanan yang ia santap pun bukanlah makanan mewah seperti yang tersaji di rumah sang ayah kandung. Hanya tempe goreng dan ikan asin yang ada. Namun, anak itu tak pernah mengeluh. Yang dia
Hingga hari itu, sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Ningsih dan Albany saling melempar pandang.“Siapa?” gumam Albany.Matanya membulat saat melihat siapa yang datang. Laki-laki yang sering dia intip dari kejauhan, bersama wanita yang pernah mengusirnya waktu dulu. kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya.“Mas Hendro?” gumam Ningsih tak percaya.“Apakah dia itu ayahku?” tanya Albany dengan wajah suram. Ningsih menunduk tak berani menjawab.“Heh, sudah kuduga. Mau apa mereka ke sini?” ucap Albany dengan wajah tak suka.“Biar Ibu yang buka,” ucap Ningsih hendak bangkit, namun dicegah oleh sang putra.“Tidak usah, Ibu duduk saja. Biar aku yang menghadapi mereka,” ucap Albany.“Assalamualaikum,” ucap Hendro dari luar.
Dengan sikapnya yang acuh dan dingin, kini Zanna mulai sedikit menjaga jarak. Hati Albany mencelos, tapi justru itu yang diharapkan. Zanna tidak boleh terbawa suasana dan lalu mencintainya.“Nggak usah mengirimiku bekal, aku akan makan siang dengan Bu Amel.” Begitu katanya. Memang benar, kini Amel semakin sering mengajaknya makan siang dengan alasan sambil membicarakan pekerjaan. Lagi-lagi, Al tidak bisa menolaknya selama itu masih dalam batas wajar.Hingga hari itu, Albany tidak menyangka jika Amel akan berani mencumbunya. Saat itu, mereka sedang berdua di ruangan. Amel memperlihatkan desain dan denah. Albany memperhatikan dengan seksama. Perempuan itu semakin mendekat dan bahkan mereka bersisian. Albany yang merasa risih menggeser tubuhnya. Lalu tiba-tiba, Amel menarik kerah Albany hingga posisi mereka kini berdempetan. Albany sungguh tidak menyangka jika atasannya itu begitu berani. Lelaki itu hendak mendorong, namun Ame
“Albany, kamu dimutasi ke unit RSF, ya,” kata Pak Tatang. “Di sana kurang orang. Mulai minggu depan kamu kerja di unit sana,” lanjut Pak Tatang.Albany menyanggupi, karena jarak unit pabrik yang disebutkan atasannya itu justru lebih dekat ke rumahnya.Hari pertamanya di sana, banyak sekali karwati yang berdesas-desus tentang ketampanannya. Tak sedikit pula yang menitip salam untuknya pada Bu Narti. Namun, Albany hanya menanggapinya dengan senyum.Tak hanya karyawati operator, bahkan staff pun banyak yang bergunjing tentang ketampanan office boy baru itu.“Keren. Badannya juga kekar, kayak model,” bisik seseroang saat Albany lewat ke ruangan besar itu. Bagaimana tidak kekar, selama hidupnya dia bekerja berat dan kasar.“Hei, Al, kok bisa sih kamu jadi OB? Kenapa gak daftar jadi model aja?” tanya Ayu saat mereka bertemu di pantr
“Ayu, tolong ke sini, ada yang harus aku tanyakan sama kamu,” pinta Za. Gadis ceriwis itu langsung bangkit dari tempat duduknya menuju ke ruangan Za.“Iya, Bu Manager?” Ayu menyembulkan kepala di pintu sambil tersenyum.Zanna memberi kode agar Ayu segera masuk dan duduk di depannya.“Ini tolong kamu cek lagi sama Pak Ibnu. Di catatanku harga segini nggak masuk.” Za menunjuk angka-angka yang tertera di sales contract.“Ah, iya. Aku teledor,” pekik Ayu sambil menepuk jidatnya.“Terima kasih Bu Manager, kamu sudah menyelamatkan aku. Coba kalau sudah aku fax atau email sales contract ini, hancurlah aku,” ucap Ayu dengan nada yang lebay.Za hanya tertawa masam sambil geleng-geleng melihat tingkah temannya itu.Tok, tok.Sebuah ketukan terdengar di pintu. Zanna lan