Share

Talak Tiga

Talak Tiga

“Indira Wijaya, Mas ceraikan kamu sekarang juga dengan talak tiga. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi! Silakan kamu kemasi barang- barangmu! Besok kamu harus pergi dari rumah ini, karena kita sudah bukan suami istri lagi!” ucap Mas Revan, lelaki berwajah tampan yang sudah lima tahun menjadi imamku.

“Tapi kenapa, Mas? Apa salahku hingga Mas tega menalakku?” lirihku dengan menatapnya tajam.

“Maafkan Mas, Indira. Mas sudah tidak lagi mencintaimu, ada nama wanita lain yang masih bertakhta di ruang hati ini. Jauh sebelum Mas mengenalmu,” tuturnya lagi.

“Siapa wanita itu, Mas?” tanyaku dengan linangan air mata.

“Dia Kamila, mantan kekasih Mas waktu SMA, sampai sekarang cinta itu masih ada dan makin bersemi setelah beberapa bulan terakhir sering bertemu. Dan kamu bukanlah wanita karir seperti yang Mas inginkan. Aku lelah selama ini menjadi penanggung jawab semuanya,” cakapnya lantang hingga menusuk sanubariku.

“Tega kamu, Mas, berbuat dan berucap seperti itu padaku! Mas anggap aku ini Cuma persinggahan semata sampai akhirnya Mas menemukan pelabuhan terakhirnya!” tuturku dengan menatapnya tajam.

Aku termenung kemudian, tak bisa berbuat apa-apa. Ingin rasanya aku memohon padanya agar segera menarik ucapannya, tapi urung kulakukan.

“Kamu tidak perlu khawatir soal Manaf, Mas akan tetap bertanggung jawab membiayai kebutuhannya. Dan Mas juga sudah belikan rumah untuk kamu dan Manaf tempati. Ya, meskipun tidak segede rumah ini, paling tidak ada tempat untuk berteduh dari panas dan hujan,” cakapnya dengan penuh kebahagiaan. “ Dan Mas berjanji, Manaf tak akan kekurangan nafkah. Meski kita tak bersama lagi.

Tak terasa ada air mata yang menetes dari ujung kelopak mataku. Sebenarnya aku sudah siap kalau sewaktu-waktu dia menalakku. Tetapi, aku tidak menyangka secepat ini kejadiannya.

Harusnya malam ini menjadi malam yang bahagia, karena malam ini Anniversary pernikahan kami yang ke-5. Sedari pagi, aku sudah sibuk menyiapkan semua keperluan untuk memberi kejutan ke suamiku. Aku membuat kue tar sendiri, memasak beberapa menu untuk kuhidangkan.

Lepas Isya, kumenata meja dan dua kursi yang saling berhadapan di teras balkon. Agar bisa menatap cahaya bulan dan bintang secara langsung.

Diiringi semilirnya angin malam, menambah keromantisan. Makanan dan minuman sudah tertata rapi di meja, tidak lupa aku siapkan lilin yang nanti aku nyalakan ketika Mas Revan datang.

Aku berharap, dengan memberikan kejutan seperti ini. Hubungan kami yang beberapa bulan terakhir terasa hambar bisa hangat lagi seperti dulu. Dan Mas Revan mau berubah demi mempertahankan rumah tangga yang sedang tidak harmonis.

Niat hati mau memberi kejutan, tapi ternyata aku yang terkejut dibuatnya. Dengan kalimat talak yang baru saja terucap dari mulutnya. Hari ini yang seharusnya menjadi momen bahagia untukku, nyatanya justru kepiluan yang kudapat.

Lelaki yang sekarang sudah memindahkan hatinya ke wanita lain telah mengurai tali pernikahan yang telah dirajut 5 tahun lamanya.

Bahtera rumah tangga yang dikemudikannya harus kandas sebelum menggapai pelabuhan harapan. Se tidak berhargakah 5 tahun kebersamaan kita. Lalu apa arti bakti dan ketaatanku selama ini?

Aku menarik napas panjang agar sedikit tenang, berharap rongga dada yang terasa sesak terisi kembali dengan oksigen.

Hanya butiran-butiran bening yang jatuh di pipiku menjadi saksi atas ucapan talak Mas Revan kepadaku.

“Tidak perlu kau tangisi perpisahan ini! Mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita agar tidak saling menyakiti,” ujarnya sok bijak seraya menepuk pundakku.

Bukan yang terbaik untuk kita, Mas, tapi untuk kamu sendiri. Sebentar lagi kamu akan menikahi wanita idamanmu, batinku.

“Besok aku baru berkemas, setelah selesai semua baru aku dan Manaf keluar dari rumah ini. Dan aku tak mau menempati rumah pemberianmu, karena aku mau mengubur masa lalu, menghapus kenangan kita dari pikiranku,” tolakku dengan halus.

“Lantas kamu mau pergi ke mana dengan Manaf?” tanyanya penasaran.

“Mas tidak perlu tahu aku mau ke mana, itu biar menjadi urusanku. Aku akan pergi sejauh mungkin dari hidupmu dan tak akan mengusik kehidupan barumu!” balasku dengan sisa air mata yang masih jatuh.

“Ya, sudah kalau begitu, Mas mandi dulu,” timpalnya sambil berlalu pergi tanpa menghiraukan perasaanku.

“Malam ini mungkin menjadi malam paling bahagia untukmu, Mas, karena dengan kamu mengucapkan talak kepadaku. Kamu sudah terbebas dari beban beratmu. Iya, aku adalah beban beratmu,” ucapku lirih.

Sedih? Pasti. Istri mana yang tidak sedih ketika kata talak terucap dari lelaki yang sudah 5 tahun membersamaiku.

Kecewa, marah? Jangan ditanya. Hati wanita mana yang terima diduakan dan dibanding-bandingkan dengan wanita lain.

Pagi menjelang, suara ayam berkokok nyaring terdengar. Namun, mata ini sulit kupejamkan, otak ini tak henti-hentinya berpikir. Ke mana aku akan pergi? Kalau pulang ke panti asuhan tempat tinggalku sejak kecil, yang ada nanti Mas Revan sering datang berkunjung dengan alasan mau ketemu Manaf. Itu malah membuatku tersiksa dan hatiku sulit untuk melupakannya, wajah itu serupa garam yang menaburi luka dalam hati.

Di sudut kamar ini, aku bergeming. Sesekali tangan ini menyapu buliran bening yang jatuh di pipiku. Mencerna semua kata-katanya, dalam hati ini masih bertanya-tanya apa semua ini benar adanya dan aku sedang tidak bermimpi??

Kucubit tangan ini, ternyata sakit yang terasa. Dan itu artinya aku sedang tidak bermimpi.

Aku masih menata hati. Tertatih membingkai kepingan hatiku yang bercerai berai.

Pagi ini, masih seperti biasa sebelum kata talak terucap. Aku menyiapkan sarapan untuk lelaki yang sekarang bergelar mantan suami, anggap ini sarapan terakhir yang aku siapkan sebelum aku pergi dari rumah ini.

“Pagi, Mas. Apa harimu menyenangkan?” ledekku berusaha menetralkan perasaan ini.

“Pagi, In-di-ra,” ejanya dengan ekspresi muka penuh tanya.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya kemudian dengan menghadap ke arahku sambil melempar pandangan yang tajam.

“Iya, aku baik-baik saja, Mas,” jawabku dengan suara bergetar, kedua netraku berkaca-kaca menatap lelaki yang sekarang sudah bukan suamiku lagi.

Rumah tangga yang aku kira akan baik-baik saja nyatanya kini tengah diterpa badai. Pernikahan kami sekarang harus berakhir.

Dibalik senyum yang kuperlihatkan, hatiku sedang tidak baik-baik saja. Hancur berkeping-keping sejak ungkapannya semalam.

Menatap matanya yang nyalang. Ada raut cemas yang masuk ke mata, mungkin masih ada sisa rasa yang tertinggal di hatinya.

Mas Revan membuka d*mp*t dan mengeluarkan A*M serta amplop coklat dari tas kerjanya lalu memberikannya padaku.

“Ini A*M dan u*ng kamu pegang untuk kebutuhanmu dan Manaf, nanti setiap bulan Mas tr*ns*er untuk nafkah Manaf. Tolong kamu jaga Manaf baik-baik, kalau ada apa-apa kabari Mas, ya!” ujarnya sambil menyodorkan amplop dan A*M ke arahku.

Kuambil pemberian dari Mas Revan, kuhargai niat baiknya. Yang pastinya aku bakal perlu dengan uang itu untuk biaya hidup kami sebelum aku mendapatkan pekerjaan.

“Terima kasih, Mas, untuk tanggung jawab, perhatian, dan cintamu selama ini padaku. Aku bahagia pernah jadi tulang rusukmu. Dan aku doakan semoga kamu berbahagia dengan kehidupan barumu nanti,” jawabku dengan tertunduk lesu.

“Terima kasih, Indira, atas ucapan dan doa tulusmu, doa yang sama untukmu,” sambungnya lagi.

“Nanti siang aku jalan, Mas, sekalian mau pamit.” Pamitku seraya kucium punggung tangan mantan lelakiku untuk terakhir kalinya.

“Kamu dan Manaf hati-hati ya, nanti kalau sudah dapat tempat tinggal baru jangan lupa kabari Mas, ya!” pesannya sambil melangkah pergi.

Ya, Allah ke mana aku dan Manaf harus pergi? Aku tidak punya siapa-siapa!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status