Share

Trauma

Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi pada istriku di masa lalu hingga memiliki bekas luka sebanyak itu? Apa ini salah satu alasan dia begitu ketakutan ketika kucoba menyentuhnya?

Aku menelan saliva, lalu menoleh pada pintu kamar mandi yang tertutup. Tak ada suara. Vanya pasti sangat tertekan di dalam sana. Perlahan aku mengetuk pintunya pelan.

"Aku akan keluar, Dek. Pakailah bajumu dulu," ucapku, lalu melangkah menuju luar kamar.

Aku menutup pintu kamar kembali, memberi kesempatan untuk Vanya memakai pakaiannya. Aku sendiri berjalan menuju dapur mengambil air putih, dan menghabiskan segelas penuh dalam beberapa tegukan.

Bekas luka mirip cambukan di setiap sudut tubuh Vanya terus memenuhi pikiranku. Tidak, aku sama sekali tidak jijik ketika melihatnya. Justru ada nyeri di dalam dada ini, siapa yang tega menggoreskan begitu banyak luka di tubuh seorang wanita?

Cukup lama aku termenung seorang diri di dapur. Setelah kurasa cukup lama, akhirnya aku berjalan kembali menuju dapur. Perlahan aku mengetuk pintu, memastikan Vanya sudah memakai pakaiannya.

"Masuklah, Mas." terdengar suara Vanya dari dalam.

Aku menahan napas ketika membuka pintu itu. Terlihat Vanya duduk di ujung ranjang dengan wajah menunduk. Aku perlahan mendekatinya, duduk di sampingnya dengan canggung.

"Maafkan aku, Dek. Aku sungguh tak sengaja melihatnya," ucapku padanya sepelan mungkin.

"Tidak, Mas. Mas punya hak melihatnya. Aku yang berdosa karena tidak jujur dari awal, saat kita mulai menjalani ta'aruf dulu. Aku berdosa, Mas."

"Tidak ada kewajiban untuk menceritakan aib di masa lalu selama ta'aruf, Dek. Itu bukan kesalahanmu."

Vanya mengangkat wajahnya perlahan, lalu menoleh padaku. Sorot matanya terlihat begitu sendu, sedih, seperti begitu banyak menanggung beban di sana. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi terlihat begitu berat.

Belum sempat bibirnya mengucap sesuatu, kami dikejutkan oleh suara gebrakan kencang. Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang hingga membuat jendela kamar terbuka. Hujan turun dengan deras di luar sana.

Aku berdiri, lalu berjalan menuju jendela. Sesaat setelah aku menutup jendela itu, tiba-tiba cahaya kilat menyambar dan disusul suara petir yang hebat. Lampu tiba-tiba padam.

"Astaghfirullah! Astaghfirullah!" Tiba-tiba Vanya menjerit histeris, yang membuatku terkejut bukan main.

Aku cepat-cepat menutup tirai jendela, agar hujan di luar tidak terlalu terlihat.

"Kamu baik-baik saja, Dek?" Aku mendekati Vanya yang terlihat begitu ketakutan dari cahaya kilat yang masih saja menyambar.

Suara petir terdengar lagi, dan Vanya langsung menjerit seraya menutup kedua telinganya. Aku refleks memeluknya, mencoba menenangkannya.

Tubuh Vanya gemetar hebat. Bisa kurasakan dia ketakutan luar biasa, tapi berusaha memberiku kesempatan untuk menenangkannya. Aku meletakkan kepalanya di dadaku, kudekap erat dia erat.

"Tenanglah, Dek. Aku suamimu, aku ada di sini untukmu. Tidak ada yang akan menyakitimu setelah ini," ucapku, ingin membuatnya tenang.

Kuraih selimut tebal dan kuselimuti tubuhnya, dengan masih tetap mendekapnya. Bisa kurasakan dia mulai merasa aman, meskipun berulang kali tersentak kaget ketika terdengar dentuman suara petir.

Astaghfirullah, ternyata istriku punya trauma yang begitu dalam terhadap sesuatu, entah apa penyebabnya. Dalam hati aku menguatkan keinginanku untuk mencari tahu tentang semua itu.

"Ya Allah, semoga engkau meridhoiku untuk mencari tahu tentang masa lalu istriku. Bukan untuk mengorek aibnya, melainkan untuk mencari cara membuatnya sembuh dari segala ketakutannya," ucapku dalam hati.

.

.

.

"Hari ini jangan masak, Dek. Kita akan pergi makan di luar bersama Mama malam ini," ucapku sebelum berangkat kerja.

Vanya yang mengantarku sampai depan pintu meraih tanganku dan menciumnya, lalu mengulurkan tas kerja, seraya tersenyum manis.

"Mas, semalam ... terima kasih," ucapnya lirih.

Entah kenapa segala kegundahanku selama ini hilang seketika mendengar ucapannya. Suatu hubungan memang harus didasari oleh saling pengertian. Aku harus mengerti, sampai tahu penyebab semuanya.

Untuk pertama kalinya kuberanikan diriku mendekatinya, dan mengecup keningnya. Dia terasa begitu kaku dan menegang, tapi dia tidak menghindar. Itu sebuah perkembangan yang sangat bagus menurutku.

Seharian di kantor, aku terus menghindar dari Tasya, bahkan menyuruh bawahanku melarangnya memasuki ruanganku. Setidaknya hari ini aku tidak ingin mendengar apapun yang buruk tentang Vanya dari Tasya. Entah sampai kapan aku bisa menghindar.

"Masyaa Allah, bagus sekali restorannya, Mas." Netra Vanya tampak berbinar ketika memasuki restoran dengan meja yang sudah kupesan khusus itu.

"Alhamdulillah, ada rejeki berlebih, jadi kita bisa makan di sini," ucapku sambil membantunya menuntun Mama.

"Jangan lupa sisihkan untuk sedekah, Mas," ucap Vanya dengan senyumnya di balik cadar, tampak dari kedua netranya yang menyimpit.

"Insya Allah, Dek," jawabku.

Kami mulai duduk dan memesan makanan. Vanya dengan sigap membantu Mama menyiapkan peralatan makannya. Aku tersenyum melihatnya. Kasih sayang Vanya pada Mama terlihat begitu tulus. Aku tak mungkin salah memilih istri.

Namun tiba-tiba, Vanya terlihat menegang, sambil menatap ke arah belakangku. Tak kuasangka Tasya tampak berjalan ke arah kami dan langsung mendekati Vanya tanpa sempat kucegah.

"Kamu ingat aku kan, Vanya?" tanya Tasya sambil menatap tajam pada Vanya. "Jangan pura-pura amnesia, apalagi pura-pura lugu!"

Vanya hanya menunduk dengan tubuh terlihat sedikit gemetar.

"Lebih baik buka saja cadar dan jilbabmu itu! Kamu tidak pantas memakainya!"

Tangan Tasya berusaha meraih niqab Vanya, tapi dengan cepat aku menepis tangannya dari Vanya.

"Jaga bicaramu, Tasya!"

Tasya terlihat terkejut ketika aku tiba-tiba aku menepis tangannya dengan kasar dan menghardiknya dengan nada suara tinggi.

"Dia istriku! Tak akan kubiarkan siapapun menghinanya, termasuk kamu! Sekarang keluar, atau kupanggilkan satpam untuk mengusirmu!"

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
cerita menarik thor
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status