Share

bab 3. Kuviralkan Kamu, Mas!

Aku berdiri dan menuju ke arah kardus yang tadi juga kubawa pulang bersama koper. Para tetangga kulihat berbinar saat aku mengeluarkan isinya.

"Bu, saya ada beberapa oleh-oleh kue dan aksesoris khas Taiwan. Jadi ini dibagi yang rata ya."

"Terima kasih mbak Nai. Semoga urusan mbak Nai dilancarkan Allah. Dan Larsono serta Titin mendapat hukuman yang layak," ujar ibu-ibu tetangga setelah aku membagi oleh-oleh pada mereka.

"Nai, kamu yang kuat ya, kalau butuh bantuan atau informasi apapun, kamu tanya saja sama saya."

Aku mengangguk dan tak lupa mengucapkan terimakasih saat Bu Joko dan para tetangga lainnya pamit pulang.

*

"Enak makanannya?" tanyaku mengelus rambut Danang. Aku baru saja memesan aneka makanan online. Ada kebab, hottang, corndog dan es lumut.

"Hm, enak banget, Buk."

Aku menatap Danang yang sedang asyik menikmati makanannya.

"Apa kamu juga sering makan seperti ini saat ibu tidak ada?" tanyaku lagi.

Danang seketika menggeleng. Matanya menatapku lama.

"Waktu itu nenek dan Tante Titin makan ayam goreng, tapi Danang hanya diberikan lauk kerupuk."

"Apa?" Ada sesuatu yang menoreh hatiku dalam.

"Iya Buk." Danang melanjutkan makannya.

"Apa bapak tidak tahu tentang hal itu?"

Danang menggeleng. "Bapak ada di warung. Dan Danang juga dibilangin sama Tante dan Nenek agar tidak ngadu sama ibu dan bapak."

"Astaga!" Aku menutup mulut. Jadi mungkin itu pula yang mengakibatkan Danang lebih pilih ikut aku daripada tantenya. Baguslah.

"Apa bapak, tante, dan nenek tidak akan pulang kemari?" tanya Danang polos.

Aku menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.

"Mulai sekarang, Danang di rumah sama ibu saja ya?"

Danang terdiam. "Kenapa bapak tidak pulang ke rumah ini lagi?"

Aku mengelus kepalanya. Mencoba memilih kalimat yang pas untuk anak berumur tujuh tahun.

"Sekarang bapak punya keluarga baru, Sayang. Dan bapak tinggal dengan keluarga barunya itu."

"Apa keluarga baru bapak itu Tante Titin?"

Aku mengangguk, menahan air mata yang hendak jatuh dengan membayangkan pengkhianatan yang mereka lakukan di rumahku.

"Bukankah dari tante dan bapak tinggal di sini? Jadi bukankah sekarang juga mereka tetap bisa tinggal bersama kita?"

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi menatap mata polos Danang yang kebingungan.

"Hm, makannya sudah? Ayo ikut ibu ke rumah tempat ibu?"

Danang mengangguk dan setelah mencuci tangan, aku menuju ke dapur. Tempat biasanya motor second ku dulu kutinggal.

Namun alangkah terkejutnya aku saat melihat motorku tidak ada.

Ting, sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel ku.

Mataku membulat sempurna saya membaca pesan dari mas Larsono.

[Oh, ya lupa bilang Nai, kalau motor kamu sudah aku jual sebagai tambahan beli mobil. Dan kamu juga harus tahu bahwa perabotan baru yang ada di rumah kamu itu adalah barang kredit. Silakan kamu lunasi ya, Sayang. Hahaha.]

Hati kembali memanas dan tanganku terkepal membaca pesan dari mantan suamiku.

Ada tiga tempat mengadu saat ketidakadilan menimpa. Satu, polisi. Dua, Komnas HAM, tiga, netizen. Dan untuk kasusku paling sesuai jika aku memviralkan lagi kelakuan be jat si Larsono itu alias menggunakan kekuatan netizen.

Kembali ku capture pesan wa dari mas Larsono dan menambahkannya dengan video saat tadi siaran langsung dalam I*******m. Video yang memperlihatkan wajah mas Larsono dan Titin, juga surat nikah dan KK baru mereka. Tak lupa pula, kusertakan bukti transfer ke rekening mas Larsono selama aku bekerja di luar negeri.

Kali ini kusebar di akun F* ku, IGku, tiktok ku dan juga status WA.

Kita akan lihat, Mas. Apa kalian tahan dengan hukuman sosial yang akan kalian dapatkan.

Tak lama berselang, berbagai notifikasi berhamburan memasuki ponselku. DM, messenger, japri pun memenuhi akun sosial media.

Dengan perlahan, aku membuka dan membaca pesan satu persatu dan tersenyum.

|Maaf Kak, apa boleh saya share postingan kakak? Semoga kakak cepat dapat keadilan.|

|Kak, saya bantu viralin. Semoga ada yang paham masalah hukum dan berkenan membantu kakak.|

|Kak, semoga masalahnya cepat selesai. Tega sekali suami dan adik kandung kamu.|

Dan beragam inbok lainnya bernada kesal pada mantan suami dan Titin bersarang ke ponselku.

Aku tersenyum puas. Lalu aku membuka kolom komentar dan membacanya pula.

|Astaga. Laki-laki mokondo! Kok bisa sih ada laki-laki seperti itu. Harusnya ke laut saja!|

|Pak @Dorman Haris, tolong kawal kasus mbak Naimah.|

|Mana sih akun media sosial atau nomor w******p suami dan adik benalu itu?|

|Eh, itu ada nomor wa nya yang laki-laki di foto SS mbaknya.|

Aku tersenyum puas. Rasain kamu, Mas. Maaf kalau hanya dengan cara ini aku memberimu pelajaran.

"Buk."

Aku tersadar saat Danang menyentuh bajuku.

"Ya, Nak?"

"Apa kita jadi pergi?"

Aku terdiam. "Nang, apa Danang pernah tahu bapak baik motor?"

Danang mengangguk. "Iya. Buk. Emang ada apa?"

"Motornya sekarang dimana?"

Danang menggelengkan kepalanya. 'Ah, dia pasti tidak tahu. Anak kecil mana tahu soal barang-barang orang dewasa.'

"Hm, baiklah. Kita naik grab sajalah."

Sejenak aku mengacuhkan semua inbok dan komentar yang masuk ke dalam ponsel. Lalu memesan grab.

"Memangnya kita mau kemana, Buk?" tanya Danang saat kami sudah naik ke dalam mobil, bingung.

Aku menatapnya. "Nanti kamu juga akan tahu. Kita nggak cuma mampir ke satu tempat, Sayang."

Danang mengangguk. Aku merengkuh pundak anak lelakiku satu-satunya dan memeluknya.

"Maafkan Ibu karena terlalu sering meninggalkan kamu, Nang."

Danang terdiam. "Memang selama ini ibu kemana?"

"Ibu kerja, Nang. Nyari uang untuk kamu dan keluarga kita." Ada rasa ngilu yang teramat dalam saat mengatakan tentang keluarga kita. Karena orang-orang yang kuanggap keluarga sudah mengkhianatiku. Tapi tak bisa kupungkiri bahwa hal ini tak lepas dari kesalahan ku yang terlalu percaya pada mas Larsono.

"Ibu kerja dimana?"

"Di luar negeri. Jauh dari sini."

"Hm, apa nanti ibu akan kembali lagi?"

"Tidak, Nang. Insyallah apapun yang terjadi, Ibuk akan mencari uang disini dan menemani kamu, Nak."

Danang mengangguk. "Apa Bapak tidak akan pulang selamanya?"

Terlihat mata Danang begitu terluka. Ah, ya Allah, dia pasti sudah merekam pertikaian antara aku dan mas Larsono tadi.

"Bapak ... tidak akan pernah pulang. Maafkan ibu, tapi bapak sudah memilih untuk menikah dengan Tante Titin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status