Beberapa jam kemudian Stela kembali ke rumah keluarga Oliver bersama dengan Candra, asisten Vincent. Pria bertubuh tinggi itu mengantarkannya ke kamar yang akan ditempati. Kamar yang terletak di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Vincent.
“Ini kamar yang akan Anda tempati, Dokter Stela,” ucap Candra setelah menghentikan langkah di depan kamar.
“Makasih ya,” ucap Stela, “nama kamu Candra, ‘kan?”
Candra tersenyum singkat sambil menganggukkan kepala. “Maaf tadi belum memperkenalkan diri dengan baik. Nama saya Candra Haidar, asisten pribadi Pak Vincent Oliver.”
Stela tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. “Auristela Indira. Pakai bahasa non formal aja. Rasanya aneh ngomong formal sama orang yang hampir seusia.”
Gadis itu memperkirakan usia Candra selisih dua tahun di atasnya. Sekitar 28 tahun.
Candra menyambut uluran tangan Stela. “Baiklah, Stela. Kalau mau istirahat, silakan. Aku mau ke taman belakang dulu.”
Pria itu membungkukkan sedikit tubuh, bersiap berjalan meninggalkan Stela.
“Ehm, sebentar,” panggil Stela menghentikan langkah Candra.
Candra membalikkan tubuh dan melihat ke arah Stela. “Ada yang bisa dibantu, Stela?”
“Pak Vincent di mana?” tanya Stela.
“Mau ketemu Pak Vincent?” Candra balik bertanya.
Stela menganggukkan kepala dengan cepat, lalu menjepit bibir.
“Ingin menyapa calon pasien.” Stela memicingkan mata dan memukul pelan bibirnya. “Maksudnya menyapa Tuan Rumah.”
Candra tertawa melihat ekspresi Stela. Pria itu tampak tampan saat tergelak seperti ini. Mata sipitnya semakin membentuk sudut tegas dan bibir merahnya juga menipis di bagian atas memperlihatkan gigi putih bersih.
“Masukkan dulu kopermu. Aku tunggu di sini. Kebetulan mau ketemu Pak Vincent juga.”
Stela menempelkan ujung ibu jari dan telunjuk, membentuk huruf O dengan jari lainnya berdiri tegak. Dia memasuki kamar berukuran besar itu. Jauh lebih luas dari kamar kos-kosannya. Sebuah kasur berukuran queen terlihat begitu empuk berada di bagian tengah menempel ke dinding kamar. Sebuah lemari berwarna putih terbuat dari kayu jati terbaik. Dan juga sebuah ....
Tunggu! Ngapain lo terpesona lihat kamar ini sekarang, Stela? Bukannya mau ketemu sama Vincent? gumam Stela sambil memukul kepala.
Gadis itu bergegas keluar dari kamar setelah meletakkan koper. Stela segera menghampiri Candra yang sudah menunggu di depan pintu.
“Done!” seru Stela setelah berdiri di depan Candra sambil menepukkan tangan singkat.
Lagi Candra tertawa melihat tingkah Stela yang terkesan seperti anak-anak. Dia kemudian melangkahkan kaki menuju lantai dasar. Stela berjalan dengan tenang di belakangnya.
“Orangnya kayak apa?” bisik Stela setelah menyesuaikan posisi jalan di samping Candra.
Kaki pendeknya melangkah lebih cepat dibanding Candra yang berjalan pelan dengan kaki panjangnya.
“Maksudmu Pak Vincent?”
Stela mengangguk.
“Dia pintar, pengusaha andal dan penyayang. Kamu akan lihat nanti.”
“Apa dia cuma ingat kenangan sebelum kejadian itu?”
Candra menganggukkan kepala. “Ingatan yang utuh hanya sampai kejadian nahas yang menimpanya.”
“Kayaknya gue perlu bicara sama lo deh, Candra. Sebelum mulai bekerja, gue perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Vincent.” Stela diam sesaat. “Sorry, lo nggak keberatan gue ngomong kayak gini, ‘kan? Maksudnya pake lo dan gue.”
Candra tersenyum, lantas mengangguk dengan kedua alis naik ke atas.
“Oke. Kita bisa berbicara nanti setelah bertemu dengan Pak Vincent.” Candra membuka pintu penghubung antara bagian dalam rumah dan taman belakang.
Stela mengedarkan pandangan ke arah taman yang dipenuhi dengan rumput hijau tertata rapi dan begitu terawat, menutupi sebagian permukaan taman belakang. Tidak ada tumbuhan lain di sana, selain pohon cemara berukuran sedang. Satu set bangku taman lengkap dengan meja terletak sedikit ke bagian tengah dan sebuah ayunan besi berwarna putih dengan jarak beberapa meter dari bangku taman.
“Itu Pak Vincent,” cetus Candra menunjuk ke arah seorang pria yang sedang duduk di bangku taman.
Stela melihat seorang pria bertubuh atletis, mengenakan baju kaus berwarna krem dengan bawahan celana katun di bawah lutut. Dia bisa melihat rambut ikal yang dipotong sangat pendek, model cepak.
“Siang, Pak,” sapa Candra.
Vincent menoleh ke kanan dan melihat asistennya bersama dengan seorang wanita yang tidak dikenalnya. Wanita bertubuh kecil dengan tinggi 155 centimeter, lebih pendek darinya hampir satu penggaris yang digunakan anak SD. Tubuh wanita itu tidak terlalu ideal dan sedikit berisi, terlihat jelas dari pipi chubby-nya.
Pria itu berdiri. Mata elang berwarna cokelat terang miliknya memperhatikan Stela dengan teliti. Bagian bawah pipi pria itu terangkah sedikit ke atas.
“Perkenalkan ini Auristela Indira, psikiater baru yang akan membantu Bapak,” jelas Candra seakan tahu maksud dari mimik wajah bosnya.
“Oh ya, Vincent Oliver,” ucap Vincent sambil mengulurkan tangan, tersenyum singkat.
Deg!
Stela merasakan jantungnya berdebar saat tatapan tidak sengaja bertemu dengan mata elang Vincent. Sorot mata yang begitu memikat, mampu membuat hati gadis manapun bergetar. Tak hanya netranya yang memikat, tapi lekuk bibir atas juga begitu seksi dengan belah di bagian tengah bibir bawah.
“Panggil saja Saya Stela, Pak Vincent.” Stela menyambut uluran tangan Vincent sambil tersenyum, mencoba mengendalikan jantung yang sedang berdegup kencang.
Percuma memperkenalkan diri, besok juga udah lupa. Aduh ini jantung kenapa nggak mau diam? ujar Stela dalam hati sambil menepuk pelan dada sendiri.
“Kamu kenapa, Stela?” risik Candra bingung.
“Eh? Nggak kenapa-napa,” balas Stela kembali melihat kepada Vincent.
Vincent Oliver, seorang pria keturunan Perancis memiliki wajah kebulean, hidung mancung dan memiliki rahang bawah yang tegas dengan sedikit belahan di dagu. Wajahnya terlihat dingin, tidak ada senyuman di sana. Tampak begitu serius.
“Dokter Stela akan tinggal di sini. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Bapak. Saya akan memberikan tanda di pintu kamar Dokter Stela nanti.” Candra kembali menjelaskan.
Vincent menganggukkan kepala, kembali ke posisi duduk.
“Berkas yang mau ditandatangani sudah ada, Can?” tanya Vincent.
“Hari ini tidak ada berkas, Pak. Besok tim akan membawakannya ke sini.”
“Oke,” sahut Vincent singkat.
Stela hanya terdiam setelah memperkenalkan diri sembari mengamati bahasa tubuh dan ekspresi Vincent. Dia ingin mempelajari sejauh mana pria itu mengingat masa lalunya. Karena ingatan masa sekarang hanya bertahan hingga ia tertidur.
“Jika perlu apa-apa, Anda bisa panggil Saya, Pak. Saya akan mengantarkan Dokter Stela kembali ke kamar,” pamit Candra sebelum beranjak dari taman belakang.
Vincent hanya menganggukkan kepala tanpa melihat ke arah Candra. Dia menatap lurus ke depan memperhatikan kolam yang berisi ikan Koi berwarna putih bercampur oranye.
Candra memberikan kode kepada Stela agar ikut dengannya ke dalam rumah. Gadis itu kembali mengekor di belakang.
“Dia ingat tentang perusahaan?” Stela bertanya untuk memastikan analisanya.
“Ya, Pak Vincent masih ingat semua hal sebelum kejadian itu, kecuali ….” Candra memilih tidak melanjutkan kalimatnya.
“Kecuali apa?” tanya Stela penasaran.
Dia mempercepat langkah lalu berdiri di depan pria itu.
Candra mengarahkan telunjuk ke lantai dua. “Kita bicara di atas.”
Mereka berdua bergegas menaiki tangga. Tiba di lantai dua, Candra membuka sebuah ruangan yang terletak persis di samping kiri kamar Vincent. Terlihat sebuah ruangan berukuran besar. Satu set meja kerja terletak di sudut kanan ruangan, sejajar dengan lemari yang dipenuhi dengan buku. Warna putih bercampur abu-abu mendominasi dinding.
“Ini ruang kerja Pak Vincent.” Candra mengulurkan tangan ke arah sofa, mempersilakan Stela duduk. Dia memilih duduk di sofa berukuran kecil.
Stela melangkah pelan, lalu duduk di sofa panjang berwarna abu-abu dengan pandangan masih mengitari ruangan.
“Pak Vincent, masih ingat semuanya sebelum kejadian, kecuali tentang calon istrinya.” Candra melanjutkan perkataan sebelumnya.
Stela mengerutkan kening dengan menyipitkan mata. “Calon istri?”
Candra memajukan tubuh, lantas menumpukan kedua tangan di atas paha.
“Pak Vincent tidak ingat dia pernah memiliki seorang kekasih dan hampir saja menikah,” cerita Candra setengah berbisik.
“Ingat semua hal sebelum kejadian, tapi nggak ingat sedikitpun tentang calon istri?” Stela berpikir beberapa saat sambil menepuk pelan dagunya. “Apa kejadian itu berkaitan dengan calon istrinya?”
Candra menganggukkan kepala. “Seseorang memperkosa dan membunuh calon istrinya sebelum memukul kepala Pak Vincent dengan besi berukuran besar, tepat satu hari sebelum pernikahan mereka.”
Bersambung....
Stela menutup mulut yang sedikit menganga dengan kedua tangan. Matanya terlihat melebar saat mendengar apa yang dikatakan Candra. Pada berkas data pasien yang diterima dari Dokter Adam, tidak tertera penyebab Anterograde Amnesia yang diderita oleh Vincent.Anterograde Amnesia biasanya disebabkan oleh cedera pada kepala, karena kecelakaan atau pukulan benda keras. Penyebab amnesia yang dialami Vincent adalah karena pukulan benda keras yaitu besi berukuran besar, sehingga merusak lobus temporal yang bisa mengganggu kemampuan otak untuk mengkonversi ingatan jangka pendek. Pria itu hanya bisa mengingat kejadian baru dalam satu hari, setelah itu ia akan lupa.“Dia juga nggak ingat dengan kejadian itu?” tanya Stela masih dengan kening berkerut.Candra menganggukkan kepala, lalu menggamitkan tangan meminta Stela mendekatkan kepala.Gadis itu lantas mendekatkan kepalanya.“Kamu benar. Dia sama sekali tidak ingat. Inilah yang membuat polis
Stela mematut lama kotak berwarna cokelat tua yang diberikan oleh Candra satu jam lalu. Gadis itu menggigit bibir bawah sembari menyipitkan mata. Dia mengambil kunci kecil yang ada di atas kotak berniat membukanya.Bagian refrain lagu Rolling in The Deep milik Adele terdengar dari ponsel Stela sebelum sempat membuka kotak tersebut. Dia segera mengambil ponsel pipih yang ada di atas kasur. Sebuah panggilan masuk dari kontak bernama ‘Uda Buruak’ (Kakak Jelek).“Halo, Da?” sapa Stela setelah menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.“Dima, Diak (Di mana, Dek)? Uda tadi dari kosan kamu, tapi nggak ada.”Stela menepuk keras kening dengan telapak tangan. Dia lupa memberitahukan tentang kepindahan mendadaknya ke kediaman keluarga Oliver.“Lupo, Da (Lupa, Kak).”“Apa yang lupa?”“Lupa kasih tahu kalau Stela sekarang udah nggak kos lagi.”&l
Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.“Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?”Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.“Itu mulut bisa dijaga nggak sih?” Stela menatap tajam kakaknya.“Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?” Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.“Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak.”“Kontrak?”Stela mengangguk cepat. “Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu.”“Sebentar. Pasienny
Ketika matahari mulai menampakkan diri, Stela memutuskan untuk lari pagi di sekitar perumahan mewah tempat rumah keluarga Oliver berada. Memanfaatkan masa libur dengan berolahraga, sebelum mulai bekerja menjadi psikiater sekaligus sekretaris pribadi Vincent Oliver adalah pilihan yang tepat.Siang hari ini, ia juga akan mendapatkan pendidikan khusus, belajar bagaimana menjadi seorang sekretaris. Bukan karena Stela akan menjadi sekretaris betulan, tapi agar lebih meyakinkan orang-orang di perusahaan. Dia tidak akan menerima tugas khusus selama di kantor, hanya duduk menemani Vincent di ruang kerja. Memastikan tidak ada yang curiga dengan kondisi kesehatan CEO sebuah perusahaan di bidang broadcast tersebut.100 meter dari kediaman keluarga Oliver, Stela melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berlari mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana panjang. Earphone terpasang di telinga, menandakan orang itu sedang mendengarkan lagu sambil
Terdengar pintu kamar diketuk saat Stela baru keluar dari kamar mandi. Dia membersihkan diri setelah lari pagi di sekitar perumahan. Gadis itu bergegas membuka pintu.“Sorry ganggu,” ucap Candra begitu Stela menampakkan diri di sela pintu.Sesaat kemudian pria itu tertawa melihat wajah Stela.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Stela lengkap dengan handuk yang melingkar menutupi rambut. Satu stel baju kaus berwarna hijau muda dan celana panjang hitam membungkus tubuhnya.Candra mengarahkan jari telunjuk ke pinggir bibirnya sendiri, kemudian menunjuk wajah Stela.“Ada sisa odol.” Candra menutup mulut saat ingin tertawa lagi.Stela berlari kecil menuju cermin meja rias yang ada di kamar. Terlihat sedikit tumpukan odol di pinggir bibir. Dia mengambil tisu basah dan mengelap sudut bibir. Setelah bersih, gadis itu kembali lagi menghampiri Candra.“Maaf. Kebiasaan gosok gigi habis mandi, jadi gi
Hampir tiga puluh menit Stela berdiri di depan cermin, memutar tubuh ke kiri dan kanan bergantian. Berkali-kali tarikan dan embusan napas keluar dari hidung dan sela bibir. Gugup? Sudah jelas, jangan ditanyakan lagi. Itulah yang dirasakannya saat ini.Bayangkan, seorang psikiater diminta menyamar menjadi seorang sekretaris. Profesi yang selama ini bahkan tidak pernah terlintas di benaknya, karena fisik yang tidak mendukung. Pandangan mata beralih ke arah sepatu dengan tinggi 5 centimeter. Well, tidak terlalu tinggi tapi bisa membuat seorang Auristela merasa terintimidasi setiap kali melihatnya.“Oke, tinggal pake lipstik,” gumamnya sambil mengambil lipstik berwarna peach yang sering dikenakannya.“Not, bad.” Stela tersenyum singkat setelah mematut lagi dirinya di cermin.Blus berwarna cokelat muda dan rok pendek di bawah lutut, telah melekat di tubuhnya. Setelan mahal yang dibeli dengan Candra dua hari yang lalu.
“Pak Vincent udah di bawah?” tanya Stela saat melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar Vincent.Candra diam, masih menatap takjub Stela.“Candra?” Stela mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah pria itu.“Woi!!” Kali ini Stela memukul pelan lengannya, membuat Candra terkesiap.“Eh?”“Pak Vincent mana?”“Oh, eh. Pak Bos udah nunggu di bawah.” Candra mengedipkan mata, berusaha mengembalikan fokus pikiran.“Mampus gue. Masa Bos udah di bawah, sementara sekretarisnya masih di sini?!” Stela bergegas berjalan meninggalkan Candra, namun langkahnya berhenti melihat pria itu masih berdiri di tempat.Gadis itu kembali lagi menarik lengan Candra, sehingga nyaris terseret menuju tangga.“Ini cewek tenaga kuat banget, ya?” Candra bersuara mendelik pada Stela.Langkah Stela berhenti di pertengahan tangga, lalu mendekatkan kep
Mata cokelat terang Stela membulat ketika mendengarkan ucapan Vincent. Dia menatap tanpa berkedip, berharap salah dengar.“Sini kaki kamu,” ucap Vincent mengulang kalimatnya.Pria itu segera mengambil kaki Stela, membuka sepatu dan meletakkannya di atas paha.“B-biar saya aja, Pak.” Stela menarik kaki, namun tangan Vincent terlalu kuat memegang kakinya.“Saya saja. Kamu terkilir karena mengikuti saya. Seharusnya bisa kasih tahu saya, jika berjalan terlalu cepat.” Vincent mulai mengoleskan krim pereda nyeri di pergelangan kaki Stela.“Tapi, Pak. Saya ini kan sekarang bawahan Bapak. Masa—” kalimat Stela berhenti saat Vincent melihat ke arahnya dengan tatapan protes.Stela merasakan jantungnya mulai bergemuruh lagi ketika pandangan mereka bertemu.“Dokter yang menyamar menjadi sekretaris, Stela. Kamu bukan bawahan, tapi dokter saya. Kamu mengobati saya dan saya mengobati kaki ka