Samuel menyesap kopi panasnya. Membiarkan kehangatan yang ditimbulkan oleh secangkir minuman itu meresap dan membakar hatinya. Sepasang mata menawannya yang mendadak gelap itu memandang pantulan dirinya di kaca kedai. Seorang pria menyedihkan berambut pirang yang termangu tanpa alasan. Ya, tanpa alasan. Karena setinggi apa pun rindu menerbangkan hasrat cintanya yang kian meninggi. Sekejam apa pun takdir merampasnya tanpa pamit. Sella akan tetap berjalan pergi, meninggalkan remah kenangan dan luka. Sama seperti sebelumnya. Padahal Samuel jelas tahu, tak ada alasan baginya untuk datang dengan segaris senyum di wajah. Atau dengan puluhan sajak yang terlepas dari bibirnya.
Karena Sella akan tetap pergi. Dengan takdir yang tak akan mempersatukan kembali.
“Ingin memesan varian kopi terbaru kami, Kak?”
Seorang pelayan menghampirinya. Menaruh cangkir kopinya yang telah kosong di nampan seraya menawarkan secangkir lagi kopi panas yang lezat.
Samuel mengangguk. Masih tak tersenyum. Dikeluarkannya sebuah buku kecil dari saku celananya. Notes bersampul hitam dengan sehelai daun kering yang tertempel rapi di sana. Jemarinya bergerak lesu, membuka lembar demi lembar kumpulan sajak itu. Sampai gerakan kecil tangannya terhenti pada satu halaman yang kertasnya mulai menyusut.
Samuel ingat. Beberapa tahun yang lalu, serbuk-serbuk dingin dari matanya jatuh ke atas sana. Ketika itu ia mendapat kabar kecelakaan mobil yang menimpa Sella dan orang tuanya. Masih terekam jelas dalam ingatan Samuel betapa paniknya ia saat naik taksi ke rumah sakit. Ia menemukan Sella duduk di koridor depan ruang UGD, tubuh perempuan itu berlumuran tanah dengan bercak darah di dahinya. Hati Samuel menyuruhnya memeluk Sella, tapi ia tak sempat karena tiba-tiba ayahnya datang dan menyeretnya pulang.
Samuel menangis sepanjang perjalanan pulang. Ia tahu Sella dan orang tuanya pergi dengan mobil untuk berlibur ke Malang. Sella bercerita bahwa liburan ke Malang akan menjadi puncak kebahagiaan di hidupnya. Pasalnya ayah dan ibunya kembali rujuk setelah bertahun-tahun berpisah. Tapi malam itu, semua kebahagiaan Sella kandas, orang tuanywa tewas malam itu juga.
Beberapa minggu setelahnya Samuel mendengar gosip bahwa ayahnya terlibat dalam kecelakaan itu. Samuel mati rasa, ia tak bisa bertemu Sella dan hanya menangis sembari menulis coretan sajak di kamar. Tapi siapa sangka, kini kertas berisi coretan tinta itu telah berubah warna dengan tekstur kertas yang kering dan rapuh.
“Aku berjalan seperti orang mabuk saat ini. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Kepalaku terasa berputar-putar. Pemandangan di depanku hanya terlihat samar-samar.
Aku mendongakkan kepala ke atas. Langit kota begitu gelap. Tak ada satu bintang pun yang terlihat di sana. Malam ini terlihat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Menatap langit yang kosong dan hampa seperti menatap diriku dan dirimu. Kita berada di dua sisi yang berbeda, saling memikirkan tetapi tak bisa saling memaafkan.
Kita membuang semua perasaan bodoh ini, berharap angin akan membawanya pergi. Menutup semua rindu lalu menjahitnya menjadi luka, berharap cinta akan membawanya pulang. Tetapi satu hal yang pasti, kini kita merasa benci dengan diri kita yang sekarang. Kita telah membuat sebuah mimpi dalam benci, sebuah keegoisan berengsek yang layak disebut cinta. Aku tak bisa memaafkan diriku dan kamu, aku yakin juga tak bisa memaafkan diriku. Inikah cinta yang kita impikan dulu?"
Samuel mengatupkan mulutnya kala kalimat terakhir dari sajak panjang itu berhasil diucapkannya dengan lirih. Jarinya kembali bergerak menutup buku kecil itu, dengan cepat. Tak kalah cepat dari itu, seorang pelayan menghampirinya. Menyajikan secangkir kopi panas dengan semerbak aroma khas yang segera merengkuh kedinginan yang menguasai hatinya. Samuel melihat senyum hangat pelayan wanita itu, senyumnya sehangat kepulan asap kopi di hadapannya. Sosok Sella kembali hadir di depan matanya. Mencairkan butiran es di bola matanya untuk kemudian jatuh berhamburan dengan tempo yang tak diduga.
Samuel kacau sekarang.
Ia menepis cangkir yang terbuat dari porselen cantik itu dengan hentakan tangannya. Kemudian berlari semburat ke arah kasir dan tanpa berpikir panjang menyerahkan beberapa lembar dollar yang bahkan tak pernah ia hitung berapa jumlahnya. Samuel rasa lembaran dollar yang tebal itu cukup untuk membayar secangkir cokelat yang telah habis ia tenggak dan secangkir lagi cokelat yang meluluhkan dinding pertahanannya akan sosok Sella Lorinia
Diiringi raut wajah terkejut para pelayan restoran dan teriakan petugas kasir yang ingin mengembalikan uang kembalian, Samuel tetap berlari keluar restoran. Dengan perasaan semerawut, dengan setumpuk kenangan yang membekas bagai debu.
Hilang untuk sementara tapi kemudian datang untuk menyiksanya, sangat lama.
***
Kedua tangan Bobby menempel geram di pinggangnya. Suara decakan dari lidahnya yang beradu dengan dinding mulut terus terdengar. Matanya kemudian membulat dan menyalak seperti anjing liar, sangat galak. Omelan dua anggota bandnya berseru-seru dari layar ponsel, membuat telinganya panas. Pria itu segera menyambar telinga seorang pria tampan yang berperawakan lebih tinggi darinya dan memelintirnya. Dipta meringis kesakitan.
“Udah nih. Kuping si budak cinta udah gue pelintir! Masih kurang puas ngomelnya?”
Bobby melepas cubitannya di telinga Dipta. Suara ringisan Dipta terdengar oleh dua rekannya dan kedua cowok itu tertawa-tawa geli di seberang telepon. Mereka masih berada di area bandara karena kegundahan hati Dipta yang tak kunjung reda. Hawa sejuk sehabis hujan memenuhi kekosongan di hati Dipta. Ia masih tak sanggup meninggalkan bandara.
Bobby duduk di kursi penumpang, menyaksikan Dipta mengelus lembut telinganya yang merah. Ia tahu betul sahabatnya itu tak akan bisa bernyanyi dengan baik dalam kondisi hati yang kacau.
“Gimana, Ta? Udah lebih baik? Bisa kita pergi sekarang?” tanya Bobby bertubi-tubi, ia ogah kena semburan dua temannya jika terlalu lama sampai ke studio latihan. Tapi Dipta diam saja.
“Ayolah, Ta. Nggak denger tadi Juna sama Roni marah-marah?” Bobby kesal.
“Gimana kalau hari ini nggak usah—“
“Woi!” Bobby meledak. “Sampai lo bilang hari ini nggak usah latihan padahal Juna sama Roni udah nunggu dari tadi, gue bakal laporin ke nyokap lo!”
Dipta terbelalak, matanya membulat sempurna. Ia membayangkan ibunya yang terobsesi pada bakat menyanyinya itu mengamuk. Dipta membayangkan ia akan memberi tatapan memelas andalannya dengan segelintir alibi untuk memperkuat posisinya yang terancam kehilangan separuh jatah makan selama sebulan, oh bahkan mungkin selamanya! Ibunya bisa menjadi tak waras jika sedang marah.
“Aduh! Iya, deh! Yuk berangkat!” Setengah menjerit Dipta menaikkan tangannya ke setir mobil.
Bobby terkekeh masam. “Ya udah, cepetan! Gara-gara sikap sok galau lo itu kita bakal terlambat!”
Dipta memutar kunci dan mobil menyala. Tak lama, mobil sedan berwarna hitam itu menyatu dengan kendaraan lain yang hendak keluar dari bandar udara. Mobil yang dikendarainya baru setengah perjalanan menuju pintu keluar, melewati beberapa kafe dan restoran. Kemudian ekor matanya yang terlampau tajam itu menangkap sosok seorang pria yang berlari tunggang langgang setelah keluar dari sebuah kedai kopi.
Saat itu Dipta baru saja merapikan kacamata hitam yang menempel rapi di batang hidungnya sampai kemunculan tiba-tiba pria dari kedai kopi itu mengagetkannya. Menginjak rem dengan cepat dan membuat satu mobil berguncang. Dipta melirik Bobby yang duduk di sampinya dengan cemas. Tepat saat cowok itu melepas sabuk pengamannya dan setengah berlari menghampiri seorang pria yang terduduk di aspal, Dipta segera tahu bahwa riwayatnya di tangan ibunya akan segera berakhir. Lebih tepatnya karena semua jatah makanannya akan dirampas habis.
***
“Akh! Aduh! Sial banget gue hari ini!” Samuel tidak tahu benda keras apa yang menghantam lengannya hingga membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Kini ia berakhir tersungkur di aspal setelah menjerit kesakitan. Seingatnya, lima menit yang lalu otaknya mengepul seperti sedang mengeluarkan asap tebal. Jadi karena tak tahan, ia berlari keluar restoran tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang tengah ramai dan padat oleh kendaraan. Lalu beginilah akhirnya. “Hei, lo nggak apa-apa? Waduh, gawat!” Samuel mengangkat kepalanya. Mengabaikan rasa nyeri di pergelangan kakinya saat suara asing dari pria berjaket gombrong itu menyapa. Bobby berjalan ketar-ketir mengelilingi Samuel yang terduduk lemas di te
“Bob, gue nabrak anak konglomerat! Gue nabrak anak konglomerat, Bob! Yang gue tabrak anak pemilik firma hukum terkenal! Bob, gue nabrak anak konglomerat!” Celotehan panik Dipta memenuhi telinga Bobby sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Bobby merasa ingin muntah saat Dipta berteriak untuk yang kesekian kali bahwa ia baru saja menabrak anak konglomerat. Nahasnya nyanyian putus asa Dipta adalah fakta. Fakta yang menjerumuskan mereka ke dalam masalah besar. Catat! Masalah besar, bukan masalah biasa. “Gi-gimana nih, Bob?” tanya Dipta gemetar. Mobilnya sedang mengantre di depan pintu masuk rumah sakit. Bobby melirik Samuel yang setengah terlelap di jok tengah. Penampilan laki-laki itu sangat mewah, bertolak belakang
Misi bunuh diri berkedok perlarian sementara itu tak berjalan mulus. Koridor RSU Jakarta yang cukup tenang pagi ini mendadak gaduh. Bobby lari pontang-panting mencari tempat persembunyian. Di belakangnya, Dipta—yang cukup payah dalam berlari—mulai sesak napas karena mengimbangi langkah Bobby. Tubuh Bobby yang ringan dan gerakan gesitnya sulit diikuti oleh Dipta yang sejak kecil sering mimisan. “Ta, cepetan dikit! Ayo!” Bobby berseru gemas sembari menarik-narik tangan Dipta yang tiba-tiba tergolek lemah di lantai. “Istirahat sebentar, Bob. Gue bisa mati kehabisan napas sebelum ketemu tuan dan nyonya Ariston,” jawab Dipta terengah-engah. Dipta berjalan setengah bungkuk didampingi Bobby. Bobby yang sudah bercuc
Apa yang harus ia pilih di saat-saat genting ini? Dipta merenung dikelilingi tatapan penasaran teman-temannya. Kepalanya menunduk seakan tak sanggup melihat wajah mereka. Mengakui Sella sebagai tunangannya secara sepihak saja sudah terdengar seperti mimpi buruk. Ditambah Dipta harus berbohong di depan tuan dan nyonya Ariston, bahkan di hadapan Samuel sendiri. Tanpa sadar hembusan napas berat lolos dari mulutnya. Mendadak Dipta jadi teringat Sella. Perempuan itu hanya terlihat lemah karena penyakit mentalnya. Sebenarnya Sella jauh lebih tenang dan bijak dari dirinya saat menghadapi masalah. Dipta berpikir apa yang akan dilakukan Sella jika diperhadapkan dalam situasi seperti ini. “Ta, lo harus coba rencana ini.” Seruan Juna membuyarkan lamun
Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan. Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk. “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.  
Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan. Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi. Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka u
Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta. Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan Whatsapp di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna. “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?”
Desakan Samuel, kata-katanya yang sulit dipercaya, dan cengkeraman jari-jarinya di kerah kemejanya. Dipta tak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi. Sejak masih di bangku sekolah pun ia tak suka berkelahi. Keyakinan itu bertahan sampai sekarang, ketika ia mulai beranjak dewasa dan kuliah di perguruan tinggi. Akan tetapi hari ini, satu nama yang terlontar dari mulut korban tabrak larinya telah menghancurkan keyakinan Dipta. “Lo sahabat Sella waktu SMA? Cowok yang nemenin dia waktu terapi penyembuhan trauma?” tanya Samuel bertubi-tubi. Nadanya suaranya keluar bagai tercekik. Dipta masih merasakan sekujur tubuhnya kaku saat saling beradu tatap dengan Samuel. Derak hujan menampar-nampar at