Melajukan kendaraan roda dua miliknya, Hana pulang setelah selesai mencatat dan mengerti keinginan dokter gigi itu. Langit sudah mulai menghitam, dia tak ingin terjebak oleh pertemuan dengan beberapa preman yang sering mangkal di warung maksiat, persimpangan tiga daerah dia tinggal. Jarak antara tempat itu dengan gang rumahnya kurang lebih tiga ratus meter. Namun jika ingin masuk ke gang rumah, jalan satu-satunya adalah melewati tempat itu. Biasanya, para pria bertato tersebut akan berada di sana kisaran jam delapan atau sembilan sampai dini hari. Entah apa saja yang dilakukan mereka di sana. Mungkin mencicipi minuman haram dan menikmati surga dunia yang penuh lumur dosa. Tak jarang, Hana melihat wanita PSK mangkal di sana melakukan aksinya. Dengan detak jantung yang berpacu tak seperti biasa, Hana menancapkan gas demi mempercepat roda motor itu berputar saat berada di sekitar warung. Dia tak ingin kedatangannya disadari para preman yang akhirnya motor yang dilajukan akan dicegat ol
"Siapa?"Dia bertanya karena penasaran. Aldo menaikkan kedua bahu bersamaan dan menautkan kedua alis tebalnya. "Besok kalau ada dia, kukasih kode dan kamu lihat aja sendiri siapa bocah itu.""Mungkin besok aku tak datang ke sini. Aku ada penjurian lomba anak SD se-Jakarta. Temanku, Pak Darma besok ada halangan jadi aku yang akan menggantikan posisi itu."Aldo mengangguk paham dengan hobi sahabatnya. Mahendra memang beberapa kali mengambil posisi juri di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaan sang papa yang sudah pensiun. Iya, sejak empat tahun kepulangannya di tanah air, Mahendra telah mengambil alih perusahaan, menjabat sebagai direktur dan Aldo sebagai general manager."Itu bukannya Annisa dan Laina?" Dagu Aldo terangkat ke arah dua wanita berseragam rapi berwana merah yang baru masuk ke dalam kafe. Ekor mata Mahendra yang tadi menundukkan kepala pun ikut menyoroti wanita yang sedang mengambil posisi duduk lalu memanggil pelayan. "Teman Hana, kan? Ke sana gih, tanya-tanya ba
"Maaf, Dra. Kami sudah lama tak bertemu Hana. Kami bahkan tak tahu di mana dia tinggal sekarang." Dengan tatapan datar yang diberikan, Laina memberi informasi yang melemaskan kaki dan tubuh Mahendra. Harapan yang dipupuknya tadi pun terkikis perlahan. Ke mana lagi dia harus mencari sang kekasih yang belum diputuskan hubungannya. Mahendra masih menatap Anissa dan Laina dengan ragu, ada rasa curiga di balik pengakuan yang baru saja mereka lontarkan.***"Busyet dah, untung saja dia percaya, Han. Kita sampe bingung merangkai kata bohong agar dia tidak mencecar pertanyaan yang lain."Laina berujar sambil mencomot risol sayur yang disajikan Hana saat kedua temannya berkunjung ke kontrakan dan memberitahu pertemuan tak terduga tadi siang dengan Mahendra."Kalau gitu, mulai sekarang kalian batasi kunjungan ke sini. Aku tahu betul dia. Dia tak mudah percaya dengan omongan orang. Dia pasti akan cari tahu. Btw, tadi wajah kalian cukup meyakinkan nggak?"Jujur, hati Hana terasa ngilu seperti di
Keluhan itu akhirnya dikeluarkan dari mulut Hana. Sudah lama dia menahan masalah orderan yang sepi, sudah beberapa kali pula dia menaruh keinginan untuk bekerja kembali seperti dulu. Walau hanya sebagai pelayan toko, restoran atau kasir di salah satu toko kelontong. Dia wanita tangguh, apa pun akan dilakukan demi tiga perut yang perlu diisi setiap hari. Hanya saja memang, dunia belum memihak kepadanya, tak bisa menjanjikan pekerjaan yang berlevel tinggi, mengingat ijasah yang dikantongi cuma tingkat SMA.Dulu niat dia berhenti dari pekerjaan sebelumnya karena Kaindra yang masih membutuhkan ASI dan kasih sayang di dua tahun pertamanya. Setelah itu, Hana mencoba mengais rejeki di bisnis kue tetapi fasilitas pemasarannya kurang memadai. Rata-rata orang yang memesan kuenya adalah kenalan dari Arsenio dan kedua temannya. "Aku pengen kerja lho sekarang. Kalau kalian ada info tentang lowongan kerja, aku mau, ya. Penghasilan yang didapat lebih menjamin tiap bulannya. Ada terus uangnya meski
Sekilas meliriknya dengan ekor mata, Hana bisa memastikan pria itu kini sukses meraih impian yang pernah ingin digenggam.Kemeja dongker dengan dasi tersimpul elegan di lehernya, lengan kemeja panjang yang dilipat sampai ke siku. Dia pun melihat sepatu pantofel hitam yang mengkilat dan rambut disisir ke samping dengan rapi. Semua tampak sempurna melekat di tubuh tegapnya. Berbeda dengannya yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana sobek di lutut. Jaket jeans yang menemani saat dia melaju dengan motor matic kesayangannya. Rambut dikuncir asal di belakang dengan wajah berlumuran minyak. Kusam. Pemandangan itu seperti langit dan bumi."Hana." Pria itu mencoba mengikis jarak di antara mereka setelah aksi diam beberapa detik, memahami pertemuan yang tak terduga.Dengan kedua tangan menenteng plastik berisi bahan yang baru ia belanjakan dari warung depan, Hana berjalan mendekati pintu. Debaran jantung kian bertalu, dia tak suka keadaan seperti itu. Mencoba berpura-pura tak peduli deng
Bibir mungil Kai manyun setelahnya, dia kesal dengan suara gaduh. Dia anak pintar yang suka dengan ketenangan. Bisa saja karena efek musik yang sering dimainkan kebanyakan adalah alunan lagu yang menenangkan."Mama tidak kenal, Kai." Hana berdusta di balik senyuman tipis sambil mengusap lembut kepalanya setelah mereka merenggangkan pelukan."Apa dia mengganggu Mama? Kalau iya, nanti Kai hajar orang itu."Lucu sekali dia, masih kecil sudah bisa menjaga dan tahu cara menyayangi orang yang telah melahirkannya. "Tidak, Kai. Tadi orang itu hanya tanya alamat." Masih menggunakan nada tenang, Hana memberi jawaban untuk bocah tampan dengan rambut tipis, mirip dengannya. "Tapi tadi Kai dengar Mama teriak maling, apa Mama yakin dia tidak melukaimu? Katakan saja, Kai pasti akan memberi pelajaran kepadanya."Haduh, anak seperti Kai memang beda dari bocah pada umumnya. Sejak ia lahir tanpa ada sosok ayah di sampingnya, Kai diajarkan nenek dan ibu menjadi anak yang super mandiri. Dia pun diberit
Menghindari dan bersembunyi adalah jalan ninja Hana pagi itu. Dia tak mau ketahuan Mahendra dengan kehadirannya di sana. Apalagi ada Kaindra yang ikut turut serta dalam perlombaan. Namun, Hana bisa memastikan kalau Mahendra tidak akan tahu jika Kaindra adalah anak biologisnya. Pasalnya, mereka berdua belum pernah saling mengenal dan tahu statusnya meski Annisa dan Laina membenarkan kalau mata dan hidung Kai merupakan duplikat dari pria itu. Mirip sekali, kata mereka.Ah, bukankah di dunia ini kita sering menemukan orang yang mirip dengan kita meski beda ayah dan ibu?Hana berjalan ke arah pilar besar yang ada di beberapa titik gedung. Di balik pilar batu yang menjulang sampai ke atas, dia cukup merasa aman karena tubuh kurusnya bisa bersembunyi di sana. Sorot mata indah memindai tubuh Mahendra yang sedang masuk bersisian dengan beberapa pria lain. Iris mata itu terus mengamati langkah kaki sampai tubuh dewasa tersebut semakin menghilang dari pandangannya.Hana bernapas lega seraya men
Tadi, sewaktu Kiandra mengikuti lomba, Hana bergelut di dapur. Mulai menyulap kue brownies pisang menjadi kue ulang tahun pesan Elena untuk calon pacarnya. Selain brownis, dokter gigi itu pun memesan kudapan kue jajanan pasar dua ratus biji. Khusus kue basah itu, ibu yang mengerjakannya tadi sebelum subuh."Bentar lagi mau aku antar, Bu. Kue basahnya sudah pas dua ratus?"Tangan Hana meletakkan kue tart buatannya ke dalam kotak dengan hati-hati. Sudah ia hias kue itu dengan krim, cukup menarik dan rapi."Ada lebih dua puluh, tapi Ibu masukin saja semuanya."Wanita senja itu tidak menoleh, fokus mencuci alat perang mereka saat mengerjakan pesanan kue. Semuanya sudah ibu siapkan ke dalam dus kue. Mengerti, Hana pun pamit dan segera meletakkan semua pesanan ke motor. Dia tak mau telat menjemput Kaindra setelah mengirim pesanan kue Elena ke alamat kantor yang dikirim barusan. Dia sangat buru-buru. Di bawah terik matahari, dengan helm dan jaket jeans yang selalu menemani perjalanannya, d