Bayangan hitam itu bergeming, seolah ragu untuk menerima perintah Murni. Angin bertiup lebih kencang, mengguncang dahan-dahan pohon yang tersisa. Udara di pemakaman terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang.Murni mengeratkan genggamannya pada tangan Joko. "Prana, aku mohon... jangan tinggal di sini," suaranya lirih, namun tegas.Meskipun Murni sudah memohon sedemikian rupa, nyatanya bayangan Prana tidak segera menghilang. Ia justru melayang lebih dekat, bergetar seperti api yang diterpa angin. Bisikan yang semula hanya sayup kini terdengar lebih jelas, seolah langsung menyusup ke dalam pikiran Murni."Aku tidak bisa..."Murni tersentak. Ia menggeleng, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. "Kenapa? Apa yang membuatmu bertahan di tempat ini, Prana?"Pak Karim, Aji, dan Kyai Hasan hanya bisa menyaksikan dengan cemas. Mereka tahu, ini bukan sekadar gangguan gaib biasa. Ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang menahan roh itu di dunia ini.Kyai Hasan mendekat, suaran
Pagi itu, Desa Juwono diliputi kegelisahan. Udara dingin yang biasanya menenangkan kini terasa menekan dada, seakan menyimpan rahasia kelam yang siap meledak kapan saja. Warga mulai berdatangan ke rumah Pak Karim, kepala desa yang dihormati, dengan wajah tegang. Beberapa membawa sesajen berupa bunga tujuh rupa dan dupa yang masih mengepulkan asap tipis, sementara yang lain menggenggam kendi berisi air putih.Tujuan mereka jelas—mendesak Murni dan Aji untuk segera mengadakan selamatan dan pengajian guna menenangkan arwah yang berkeliaran di sekitar makam Raharjo.Bu Sarmi, seorang wanita paruh baya yang dikenal memiliki kepekaan terhadap hal-hal gaib, melangkah ke depan dengan raut wajah penuh kecemasan. "Kami semua merasa tidak tenang sejak semalam," katanya, suaranya bergetar.Beberapa warga mengangguk, membenarkan ucapan Bu Sarmi."Anakku yang baru berusia enam tahun terus menangis tanpa sebab," tambah lagi, suamiku bilang, kalau ada seseorang yang berdiri di pojok kamarnya, menatap
Warga yang hadir semakin panik saat melihat pria yang kejang-kejang tadi mengerang kesakitan. Tubuhnya bergetar hebat, urat-urat di lehernya menonjol, dan napasnya tersengal. Beberapa orang mencoba menenangkannya, tapi setiap kali mereka menyentuh kulitnya, panas menyengat terasa, seolah mereka menyentuh bara api. "Pak...! Pak! Sadarlah!" seru istrinya yang menangis di sampingnya. Pak Karim segera mendekat, wajahnya pucat. "Kyai, tolong dia! Dia tidak bisa terus begini!" Kyai Hasan mengangguk cepat, lalu berjongkok di samping Pak Darto. Dengan sigap, ia menempelkan tangannya ke dahi pria itu dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya menggema di tengah suasana yang mencekam. Namun, seiring lantunan doa yang semakin kencang, tubuh Pak Darto malah semakin berontak. Tangannya mencakar tanah, kakinya menghentak-hentak seperti hendak berlari dari sesuatu. Tiba-tiba, dari mulutnya keluar suara yang bukan miliknya—suara berat dan serak, penuh kebencian. "Kalian semua bodoh! Jangan c
Suasana di pemakaman desa masih mencekam. Warga berdiri melingkar, wajah-wajah mereka tegang dan cemas. Beberapa orang berbisik lirih, sementara yang lain hanya diam, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.Murni masih berlutut di depan makam ayahnya, tangannya gemetar dan tubuhnya terasa lemas. Ia menatap tanah yang baru saja ia timbun, berharap segalanya telah selesai.Kyai Hasan mendekatinya, tangannya terangkat untuk menenangkan. “Semoga dengan ini, sudah cukup semuanya. Kita semua harus berdoa agar arwahnya tenang dan tidak kembali mengganggu.”Pak Karim mengangguk, lalu menoleh ke arah warga lainnya. “Kita semua bisa pulang sekarang. Biarkan Murni beristirahat.”Perlahan, warga mulai meninggalkan pemakaman. Hanya Murni, Joko—suaminya, Aji, Kyai Hasan, dan beberapa orang yang masih tetap berada di sana.Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan. Suara langkah kaki yang berat, seperti sesuatu sedang mendekat.Murni menelan ludah.
Cerita ini adalah sequel alias session 2 dari cerita sebelumnya. Semoga tidak mengecewakan, ya... Terima kasih untuk pembaca semua yang masih selalu setia mengikuti cerita ini. BLURB Ketika Damar, dan beberapa kawan jurnalisnya, dikirim ke desa terpencil Karangwungu untuk mendokumentasikan kisah-kisah mistis, mereka sama sekali tidak menyangka akan terjebak dalam mimpi buruk. Pertama kali mereka menginjakkan kaki di sana, desa itu terlihat seperti sebuah desa mati. Tanpa penghuni, tanpa cahaya kehidupan. Namun, saat malam tiba, sesuatu yang mengerikan tiba-tiba muncul dari kegelapan. Pocong-pocong melompat-lompat, memenuhi seluruh desa, menuntut sesuatu yang telah lama hilang. Bisakah Damar dan teman-temannya bertahan dan menemukan kebenaran sebelum fajar tiba? Atau akankah ia menjadi bagian dari "Kutukan Desa Pocong"?***BAB 1 - DESA MATIDamar menghela napas panjang, merapatkan jaketnya saat udara malam mulai menusuk kulit. Bersama tiga rekannya—Laras, Rani, dan Joni—ia berdiri
Damar langsung menyorotkan senter ke arah jendela itu, tapi… Kosong. Tak ada siapa pun di sana. "Apa sih? Nggak ada apa-apa, Ras," ucap Damar. Joni mencengkram bahu Damar. "Mar, dengar! ini mulai nggak beres!" Damar menghembuskan napas kasar. "Sudahlah, jangan paranoid. Kita butuh tempat untuk bermalam." "Tapi, Mar—" "Nggak ada tapi-tapian!" potong Damar tegas. "Kita ke sini buat kerja, loh." Laras mendecak kesal, tapi ia tak membantah lagi. Joni dan Rani hanya bisa saling berpandangan sebelum akhirnya mengikuti Damar yang kembali berjalan di jalanan desa yang gelap dan sunyi itu. Mereka melewati beberapa rumah lain, tapi kebanyakan terlalu kecil dan terlihat lebih rapuh daripada yang pertama. Beberapa rumah bahkan hanya tersisa kerangka, dengan atap yang runtuh dan dinding yang hampir roboh. Udara semakin dingin. Angin bertiup membawa aroma tanah basah yang bercampur bau apak, seperti sesuatu yang telah lama membusuk. Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka
Damar menahan napas. Suara jeritan itu seperti menembus kepalanya, menggema di setiap sudut ruangan. Jendela yang terbuka lebar kini hanya menampilkan pemandangan yang lebih mengerikan—pocong-pocong itu mulai bergerak. Perlahan. Gemetar. Seperti mayat hidup yang baru bangkit dari kubur."Joni! Cepat buka pintunya!" Laras menangis histeris, tubuhnya bergetar ketakutan.Joni terus menarik-narik gagang pintu, bahkan menendangnya dengan sisa tenaga yang ia miliki. "Sial! Kenapa nggak bisa dibuka?!"Di tengah kepanikan itu, Damar mencoba mengatur napas. Ia melangkah mundur, menyorotkan senter ke setiap sudut ruangan. Bayangan berkelebat di dinding, seolah ada sesuatu yang bergerak cepat di dalam rumah.Lalu…PRAK!Rak kayu di sudut ruangan tiba-tiba ambruk, menimbulkan debu yang mengepul. Dari balik tumpukan buku tua, sesuatu merayap keluar.Rani menjerit. "A-Apa itu?!"Damar membeku. Matanya membelalak saat melihat tangan kotor berlumuran tanah merangkak keluar dari balik rak. Tangan itu
"Ini nggak mungkin… KITA TERJEBAK!" Rani mulai menangis, tubuhnya melemas hingga hampir jatuh terduduk di lantai. Laras pun semakin panik, matanya liar mencari celah untuk kabur, tapi tidak ada satu pun jalan yang terlihat aman. Tak lama kemudian, mulai terdengar suara langkah berat di lantai atas. Duk… Duk… Langkah-langkah itu terdengar lamban, seolah sesuatu yang besar sedang berjalan di lantai kayu yang sudah rapuh. Damar meneguk ludah. Dengan senter di tangannya, ia menyorotkan cahaya ke arah tangga kayu tua yang mengarah ke lantai dua. Bayangannya bergetar di dinding, membuat suasana semakin menyeramkan. Lalu, sesuatu muncul di ujung tangga. Sesosok wanita dengan gaun putih panjang, beberapa bagiannya robek, dan tampak lusuh. Wajahnya begitu pucat dan hanya menyisakan dua lubang mata yang kosong dan hitam. Tangannya panjang dengan jari-jari kurus seperti akar pohon, menggantung lemas di sisi tubuhnya. Dan yang paling menyeramkan… tubuhnya tidak sepenuhnya menyentuh lant
Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku
Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P
Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam
Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem
Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa
Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t
Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men
Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej
Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.